Jakarta (Metrobali.com) 

Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) seringkali disamakan dengan ‘malaikat pencabut nyawa’ bagi karyawan, termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PLN. Dengan kewenangan penuh di tangan mereka, pejabat SDM memiliki kemampuan untuk mengatur posisi karyawan, yang bisa dipengaruhi oleh sistem ‘like or dislike’.

Isu ini mencuat terkait dengan DT, seorang perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai Vice President Human Talent Development (HTD) Area I dan kini naik jabatan menjadi Vice President Manajemen Kinerja Human Capital di Divisi Pengembangan Talenta.

DT dikabarkan sebagai sosok yang ditakuti oleh banyak karyawan, terutama di tiga Unit Induk PLN, yaitu Unit Induk Distribusi (UID) Aceh, UID Sumatera Utara, dan UID Riau dan Kepulauan Riau (RKR).

Rumor beredar bahwa DT seringkali menyalahgunakan wewenangnya dalam mengatur posisi karyawan, dengan menerapkan sistem yang lebih mengutamakan karyawan yang dekat dengannya. Hal ini menyebabkan munculnya ketidakpuasan di kalangan pegawai, terutama yang merasa tidak berada dalam “barisan” DT.

Berdasarkan investigasi, sistem rotasi di PLN terindikasi mengalami kerusakan karena praktek-praktek tersebut. Pegawai yang berdedikasi di daerah pelosok sering kali tidak mendapatkan apresiasi, sementara karyawan dengan kinerja biasa-biasa saja yang berada di barisan DT, dapat bertahan dalam jabatannya selama bertahun-tahun tanpa gangguan.

Di UID Riau dan Kepulauan Riau, seorang pejabat berinisial TN yang menjabat sebagai MSB Komunikasi dan TJSL, meski minim prestasi dan diduga melakukan manipulasi dalam pemberian Program TJSL, tetap bertahan dalam jabatannya selama lebih dari 4 tahun.

Hal serupa juga terjadi di UID Sumatera Utara dan UID Aceh, di mana pejabat yang dekat dengan DT dapat bertahan di posisi mereka selama bertahun-tahun, sementara yang lain kesulitan untuk naik jabatan.

Hal ini menyebabkan banyak pejabat yang berupaya untuk naik posisi menjadi terhambat. Situasi di Sumatera Utara bahkan telah menjadi rahasia umum bahwa pejabat yang berada di kota besar seperti Medan cenderung mempertahankan posisi mereka, sedangkan pejabat dari daerah pelosok sulit untuk masuk ke Medan.

Menurut sumber-sumber di PLN, perilaku DT ini telah memberikan dampak negatif terhadap psikologi pegawai dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Banyak pegawai yang merasa tidak dipedulikan dalam proses mutasi, meski permohonan mereka diterima dengan baik secara verbal, namun tidak ada realisasi yang nyata.

Sumber tersebut juga menambahkan bahwa General Manager (GM) seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam menentukan kebutuhan pegawai untuk meningkatkan kinerja unit mereka. Kegagalan dalam pemetaan talenta ini menjadi salah satu bukti kegagalan kepemimpinan DT.

Situasi ini memerlukan perhatian serius dari Direktur Utama PLN dan Direktur Human Capital untuk menginvestigasi DT dan praktek-praktek yang dilakukannya. Jika tidak, tindakan DT yang kerap pilih kasih dan suka-suka dalam mengatur posisi jabatan karyawan PLN dapat membahayakan organisasi secara keseluruhan.(ist)