Irony of Being: Tiga Perupa Sajikan Kompleksitas Kehidupan di Biji Art Space
Gianyar, (Metrobali.com)
Tiga seniman, Agus Kama Loedin, Loka Suara, dan Uuk Paramahita, berkolaborasi dalam pameran seni bertajuk ‘Irony of Being’ di Biji Art Space, Jl. Raya Mas, Ubud, Bali.
Pameran yang berlangsung 8 Desember 2024 hingga 4 Januari 2025 ini merupakan program Sawidji yang mengupas ironi kehidupan, mengangkat pertentangan antara kenyataan internal manusia dan dunia luar yang kompleks.
Penulis Dian Dewi menyebut pameran ‘Irony of Being’ hadir di tengah hiruk-pikuk akhir tahun yang penuh dengan perayaan. Di balik semaraknya acara tersebut, ironi kehidupan modern terasa semakin nyata.
Ketiga seniman —akrab disapa dengan Agus, Loka, dan Uuk— dalam pameran ini dikenal dengan pendekatan seni yang non-konformis.
Mereka bertiga masing-masing memiliki keunikan dan gaya yang mencerminkan pandangan kritis terhadap kehidupan.
Loka Suara, Uuk Paramahita, dan Agus Kama Loedin bukan hanya memamerkan karya seni, tetapi juga menyampaikan dialog filosofis tentang manusia sebagai individu, makhluk sosial, dan makhluk spiritual.
Berikut ini sekilas ulasan Dian Dewi tentang karya ketiga perupa yang sehari-harinya juga merupakan sahabat hangat:
Loka Suara menerima tantangan untuk menerjemahkan konsep ironi dalam bentuk visual. Proses ini membalikkan cara kerjanya, mulai dari bayangan figuratif yang utuh dan kemudian membalikkan tahapan proses untuk menghasilkan visual yang lebih sederhana dan terpecah. Kanvas yang belum selesai digunakan sebagai pengganti dasar yang lebih halus, dengan tujuan untuk menghasilkan visual yang merepresentasikan ironisme melalu proses.
Uuk Paramahita menampilkan lukisan-lukisan penuh warna yang menggambarkan “orang-orang kecil” di dunia besar. Setiap karyanya seperti labirin cerita visual yang mengajak penonton menggali makna kehidupan sehari-hari dengan optimisme dan idealisme yang menyentuh.
Sementara itu, Agus Kama Loedin memadukan filosofi Jawa kuno dengan seni kontemporer. Melalui patung kawat warna-warni, Agus mengeksplorasi konsep teologis dan budaya, menciptakan karya yang menghubungkan tradisi dengan modernitas.
Dian Dewi menjelaskan kendati memiliki pendekatan yang berbeda, ketiga seniman ini menemukan ironi yang menyatukan karya-karya mereka.
Loka membahas individu secara figuratif, Uuk mengeksplorasi hubungan individu dengan masyarakat, sementara Agus mendalami dimensi spiritual dan filosofis.
“Kolaborasi ini menghasilkan narasi yang kaya tentang keberadaan manusia dalam berbagai aspek,” ujar Dian Dewi.
Kata dia persiapan pameran ini memicu diskusi di komunitas seni Ubud, termasuk dalam forum di Panggung Dapur Usada. Percakapan ini menegaskan bahwa ironi kehidupan merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas, mengingat absurditas dunia yang terus berkembang.
‘Irony of Being’ bukan hanya pameran seni, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehidupan. Melalui karya-karya mereka, Agus, Loka, dan Uuk mengajak pengunjung untuk merenungkan keberadaan manusia di tengah kontradiksi dan ironi dunia.
Budayawan Putu Suasta mengatakan untuk menjadi seniman yang sukses, seseorang harus melampaui batasan pribadi, seperti pencapaian ketiga perupa yang berpameran ini.
“Simbol ironi ada dalam hidup kita sekarang, tuntutan kehidupan modern semakin meningkat, namun cara untuk memenuhinya semakin sulit,” ujar Putu Suasta.
Putu Suasta, yang juga dikenal sebagai aktivis dan pengelana budaya ini, bersama Putu Sudiana Bonuz, seniman dan pemilik Batu 8 Studio, bakal membuka pameran ini dengan prosesi yang tak biasa. Keduanya tak mau merinci kejutan apa dalam atraksi opening pameran ini.
Selain itu, ada pula penampilan musisi Arif Hendrasto dan Angga Waskta dalam pembukaan yang dijadwalkan pada Minggu, 8 Desember 2024 mulai pukul 18.00 Wita.(RED-MB)