Ironisnya Pariwisata Bali : WNA Bekerja dan Bisnis di Bali, Krama Bali Jadi Pekerja Migran di LN
Oleh : Jro Gde Sudibya
Menyimak liputan Kompas bertema: Secuil Moskow di “Pulau Dewata”, Kompas (25/5), tetap saja kita terperangah, tentang sejumlah wisatawan asing yang begitu leluasa bekerja sebut saja sebagai pengusaha motor sewaan, fotographer, model dan profesi lainnya, hanya berbekal kartu izin tinggal terbatas (kitas).
Kelompok pekerja asing ilegal ini, mampu menciptakan semacam enclave (semacam kantong ekonomi khusus) di Ubud, yang nyaris tidak tersentuh oleh aturan penegakan hukum yang berkaitan dengan keimigrasian, dan juga aturan perpajakan. Mereka bekerja di sini, melanggar aturan keimigrasian, memperoleh pendapatan, tetapi tidak membayar pajak pendapatan dan pajak keuntungan.Mereka seakan-seakan berada di “rimba raya” yang bebas aturan keimigrasian, ketenaga-kerjaan dan perpajakan. Kedatangan mereka sebagai turis cuma tenaga kerja ilegal, menyaingi dan punya potensi mematikan kesempatan kerja bagi pekerja wisata lokal di sini.
Fenomena “Secuil Moscow di Pulau Dewata”, merupakan puncak gunung Es dari permasalahan industri pariwisata yang dihadapi Bali.
Fenomena yang kontradiktif, wisatawan asing sebagai pekerja ilegal “membanjiri” Bali, tetapi krama Bali berusia muda “berbondong-bondong” sebagai PMI (pekerja migran Indonesia). Timbul pertanyaan, apakah tidak ada yang salah dalam kebijakan ekonomi ketenaga-kerjaan (labor economy policies) dari Pemda Bali?.
Tidak terlalu lama lagi, akan mulai beropersi dua proyek raksasa dengan besaran investasi jumbo: KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Sanur untuk penyediaan jasa RS bertaraf internasinal, dan KEK Pulau Serangan, yang konon lebih fokus ke pengembangan industri IT.
Timbul pertanyaan, bagaimana kesiapan Pemda Bali plus DPRD Bali, menyusun design kebijakan, sehingga terjadi interkoneksi antara kesempatan kerja yang lahir dan bertumbuh di ke dua KEK tesebut di atas, dengan kesiapan SDM Bali untuk memenuhi “opportunity” tsb.
Sudah semestinya elite pengambil kebijakan di Bali mengambil inisiatif terukur, untuk menghubungkan “industri” pendidikan di Bali sebagai pemasok SDM dengan manajemen KEK sebagai mitra yang memerlukan SDM.
Kebijakan yang memberikan insentif bagi mereka yang memberikan prioritas bagi tenaga kerja lokal, dan disinsentif (sangsi) bagi KEK yang lalai.
Sehingga secara makro ekonomi, akan tercipta korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi Bali akibat KEK dengan penciptaan pekerjaan bagi SDM lokal.
Sehingga tidak akan terjadi, tamsilnya: “ayam mati di lumbung padi”, ekonomi Bali akibat kedua KEK bertumbuh, SDM lokal tidak dapat apa-apa, tetapi pekerja luar semakin “membanjiri” pulau ini.
Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999-2004, ekonom, pengamat ekonomi politik.