Foto: (dari kiri ke kanan)- Muchammad Arya Wijaya, S.H., Alexander Ricardo Gracia Situmorang (Arga) S.H., dan Putu Sukayasa Nadi, S.H.,tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku tim penasehat hukum MV.

Denpasar (Metrobali.com)-

Penegakan hukum di tanah air masih saja kerap menyisakan kisah-kisah janggal, miris, ironis dan memilukan yang tidak berpihak pada para pencari keadilan. Instrumen penegakan hukum tak jarang jadi akrobat oknum penegak hukum yang seperti “mencari kesempatan dalam kesempitan.”

Para pencari keadilan pun menjerit seringkali begitu susahnya mengakses dan mendapatkan keadilan padahal solusi penyelesaian atas permasalahan hukum yang ada sudah jelas-jelas terpampang nyata di depan mata, dan bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, memulihkan kondisi dan hubungan baik para pihak, baik korban maupun pelaku, seperti hal dengan konsep restoratif justice (keadilan restoratif).

Mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana khususnya Pasal 1Angka 27, keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Gampangnya, keadilan restoratif menekankan upaya perdamaian dan win-win solution diantara para pihak.

Keadilan restoratif ini tengah diperjuangkan tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang untuk kliennya ber inisial (MV), seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Lituania, yang terjerat kasus dugaan tindak pidana penganiayaan pasal 351 KUHP.

“Kami berharap permasalahan hukum yang tengah dihadapi klien kami dapat diselesaikan dengan restorative justice sebab sudah ada kesepakatan damai dengan korban/pelapor dalam kasus ini. Sayangnya dari penyidik di Polsek Kuta Utara tidak menggubris permohonan kami agar kasus ini diselesaikan secara restorative justice,” kata Alexander Ricardo Gracia Situmorang (Arga) S.H., didampingi Muchammad Arya Wijaya, S.H., dan Putu Sukayasa Nadi, S.H.,tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku tim penasehat hukum MV.

Lebih lanjut Muchammad Arya Wijaya, S.H., menceritakan kronologis singkat awal mula permasalahan hukum yang menjerat kliennya MV. Awalnya MV tinggal di sebuah vila di Kawasan Kerobokan, Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pada dini hari 25 Mei 2021 MV merasa terganggu dengan kebisingan akibat suara musik yang terlalu keras dari vila di sebelah vila yang ditempatinya. MV kemudian menegur penghuni vila namun akhirnya malah terjadi misskomunikasi, keributan dan terjadilah hal-hal yang tidak diingingkan.

Akhirnya MV dilaporkan oleh Sanrego Najibullah Rowa ke Polsek Kuta Utara pada 25 Mei 2021 atas dugaan tindak pidana penganiayaan . MV diamankan dan kemudian ditahan di Polsek Kuta Utara setelah ada pengaduan masyarakat oleh Sanrego Najibullah Rowa, yang mengaku dianiaya oleh MV pada tanggal 25 Mei 2021 pukul 02.00 Wita sesuai dengan nomor dumas 219/v/res.1.6/2021/polsek.

Pada 25 Mei 2021 MV ditangkap oleh pihak kepolisian Polsek Kuta Utara selanjutnya ditahan sejak tanggal 25 Mei 2021 di Polsek Kuta Utara sampai dengan saat ini untuk 20 hari ke depan sampai tanggal 13 Juni 2021. Atas permasalahan hukum yang menjeratnya akhirnya MV menunjuk tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku penasehat hukumnya.

MV melalui kerabatnya atas nama Selvi Agustina, menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap teradu Mantas Vasiliaukas (MV) kepada Kepala Kepolisian Sektor Kuta Utara, akan tetapi sampai dengan saat ini MV tidak mendapatkan kejelasaan apakah permohonan penaguhan tersebut diterima atau tidak oleh Kepala Kepolisian Sektor Kuta Utara.

Selanjutnya tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku penasehat hukum MV sesuai dengan petunjuk dari pihak Polsek Kuta Utara untuk melakukan pendekatan dengan korban atau pelapor untuk bisa melakukan perdamaian secara kekeluargaan dengan mengedepankan restoratif justice dan membuat pencabutan laporan di Polsek Kuta Utara.

Pendekatan tersebut diterima dan diapresiasi oleh korban dan keluarganya sehingga korban dan keluarganya sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan pengaduan yang telah dibuat sebelumnya di Polsek Kuta Utara sesuai dengan surat kesepakatan perdamaian tanggal 3 Juni 2021.

Dikarenakan korban dan keluarganya dengan MV telah berdamai dan tidak ingin lagi kasus ataupun pengaduannya di Polsek Kuta Utara dilanjutkan, pada tanggal 3 Juni 2021 korban dan keluarganya/pengadu membuat surat kepada Kepala Kepolisian Sektor Kuta Utara, perihal pernyataan dan permohonan pencabutan pengaduan masyarakat/laporan polisi yang dibuat pada tanggal 25 Mei 2021 atas nama pengadu Sanregop Najibullah Rowa.

Namun faktanya walau sudah ada perdamaian MV dengan pihak korban, kasus ini masih tetap dilanjutkan dan belum dihentikan oleh pihak penyidik Polsek Kuta Utara. Inilah yang membuat tim advokat Law Firm Togar Situmorang selaku kausa hukum MV merasa heran dan janggal.

Sebab selain adanya kesepatan damai tersebut yang seharusnya bisa menjadi jalan penyelasaikan kasus ini secara restorative justice (keadilan restoratif), juga ada dasar hukum yang kuat yang harusnya dijalankan dan dijadikan acuan oleh pihak penyidik Polsek Kuta Utara yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 6/2019) yang memberikan ruang adanya penyelesainan kasus dugaan tindak pidana melalui restorative justice.

Dalam Pasal 12 Perkap 6/2019 ini disebutkan bahwa dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat seperti tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat; tidak berdampak konflik sosial; adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum; tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; pelaku bukan residivis; surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor); pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

“Syarat Pasal 12 Perkap 6/2019 Perkap sudah terpenuhi untuk dilakukannya keadilan restoratif terhadap kasus klien kami tersebutlah yang seharusnya menjadi acuan bagi para penyidik dalam melakukan penyidikan, sehingga tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Tapi kenapa keadilan restoratif itu tidak dilakukan bagi klien kami,” tanya Arya.

“Menjadi pertanyaan bagi kami penasehat hukum klien kamim kika sebuah Perkap saja yang dibuat oleh pimpinan Polri dalam hal ini Kapolri tidak diperhatikan cenderung diabaiakan oleh penyidik di Polsek Kuta Utara, bagaima dengan kami sebagai penasehat hukum yang haya menjalankan surat kuasa untuk klien kami mendapatkan hak-haknya,” imbuh Arga.

Permasalahan diabaikannya keadilan restoratif bagi MV ini diharapkan menjadi konsen dari Polri sebagai pengayom masyarakat untuk bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta sesuai dengan Perkap 6/2019 dan seharusnya menjadi atensi oleh Karowassidik Bareskrim Polri ataupun Kabagwassidik Polda Bali sehingga tidak ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Perkap yang dilakukan oleh penyidik dalam tubuh Polri.

Tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang pada tanggal 10 Juni 2021 kembali mendatangi Polsek Kuta Utara untuk menindak lanjuti surat kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh korban beserta keluarganya dengan klien MV serta menanyakan langsung perihal surat pernyataan dan pencabutan pengaduan atau laporan polisi di Polsek Kuta Utara tersebut, akan tetapi dikatakan sudah diterbitkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ) sehingga kuasa hukum MV diarahkan untuk menghubungi jaksa.

xander Ricardo Gracia Situmorang (Arga) S.H.

“Hal tersebut menjadi sebuah hal yang janggal bagi kami yang juga mempelajari hukum, dikarenakan SPDP tersebut merupakan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, dimana surat tersebut hanya sifatnya Polsek Kuta Utara memberitahu kepada Kejaksaan Negeri Badung bahwa polisi telah memulai penyidikan terhadap perkara tersebut,” terang Arga.

“Akan tetapi proses dan kewenangan masih ada di pihak Polsek Kuta Utara sepanjang belum adanya tahap dua pelimpahan atau berkas dinyatakan P21, sehingga seharusnya Polsek Kuta Utara tidak menyarankan klien kami melalui kami sebagai penasehat hukumnya untuk menemui jaksa yang akan menangani hal tersebut dan apa maksudnya. Hal ini dikarenakan kewengan penyidikan dan memberhentikan penyidikan dengan dasar restorative justice masih sangat dimungkinkan dilakukan oleh penyidik Polsek Kuta Utara,” imbuh Arga yang merupakan advokat muda professional putra dari advokat kodang S.H., M.H., M.A.P., C. Med., C.L.A.

“Upaya klien kami mendapatkan restorative justice jangan dipingpong. Kewenangan di penyidik kepolisian jangan dibawa ke kejaksaan dan kepolisian jangan seolah-olah ingin cuci tangan. Klien kami sampai saat ini masih mengacu pada Perkap Nomor 6 Tahun 2019 bahwa restoratif justice masih dapat dilakukan kepada MV yang sudah berdamai dengan korban dan keluarganya, serta korban telah bersurat mencabut laporan polisinya dan korban atau pelapor bernama Sanrego Najibullah Rowa dan tim Kuasa Hukum dari Jakarta akan datang dan menyatakan keberatan dan prihatin terhadap kondisi pelaku yang sudah ditahan dan minta segera dibebaskan dari tahanan polsek ,” imbuh Arya menimpali.

Muchammad Arya Wijaya, S.H.

Terlebih restoratif justice menjadi konsen dari Kapolri yaitu penegakan hukum di institusi Polri kedepannya harus memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan mengedepankan instrumen hukum yang progresif, sehingga restoratif justice merupakan satu bentuk yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Harapan kami pihak penyidik dapat melihat hal ini sebagai, hukum pidana bukanlah salah satu cara yang baik untuk menghukum pelaku tindak pidana, bahkan antara korban dan pelaku telah sepakat untuk berdamai dan mencabut laporanannya, akan tetapi menjadi pertanyaan besar kami sebagai penasihat hukum kenapa penyidik masih tetap kekeh untuk melanjutkan kasus ini dan menahan klien kami dengan alasan berkas sudah di Kejaksaan???? Berkas apa yang dikejaksaan???,” pungkas Arya. (dan)