Ironi Subak dan Alih Fungsi Lahan
SUBAK telah diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO. Hal yang perlu dilakukan kini adalah menjaga agar subak taetap lestari. Setidaknya hal itu yang ditegaskan oleh anggota Komisi IV DPRD Bali, Gede Suamba Selasa 22 Mei 2012. Secara historis, kata Suamba, subak di bawah kendali desa pakraman (desa adat di Bali). “Bagaimanapun juga, mereka harus punya andil untuk
mengayomi subak itu sendiri. Harus diberikan ruang lebih bagi desa pakraman untuk melestarikan subak,” kata Suamba.
Kendati begitu, Suamba tak menampik jika ancaman terbesar subak saat ini adalah alih fungsi lahan yang menggila di Bali, terutama di kota-kota besar. “Alih fungsi itu terjadi lantaran terjadinya lonjakan penduduk dan meledaknya harga tanah di Bali. Berbondong-bondong orang Bali menjual tanahnya,” ungkap Suamba.
Menurutnya, kedua hal itu yang mesti diperhatikan Pemerintah Provinsi Bali usai subak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Suamba juga menekankan pentingnya keringanan bagi masyarakat dalam merawat lahan yang dimilikinya. “Misalnya seseorang yang memiliki tanah bisa diberi keringanan dalam membayar pajak. Ini salah satu bentuk penghargaan pemerintah kepada masyarakat yang mau menjaga lahannya,” jelas dia.
Dengan begitu, kata dia, ada semangat yang tumbuh untuk memelihara lahan agar tetap lestari. Hal lain yang mesti diperhatikan, Suamba melanjutkan, adalah perlindungan pemerintah terhadap petani Bali. Sebagai misal, jika harga jual di pasaran sedang anjlok, pemerintah harus memberikan proteksi kepada petani. Proteksi itu bisa dilakukan dengan memberi standarisasi harga produk pertanian oleh pemerintah.
“Jika harga anjlok, pemerintah memberi proteksi melalui standarisasi harga itu. Jadi, petani tak perlu merasa lebih baik menjual lahannya ketimbang mempertahankan lahan tapi tak menghasilkan. Jika sudah begitu, sistem subak kita akan terjaga baik,” katanya.
Hal lain yang mesti diperhatikan, tentu saja membangkitkan kembali semangat semangat wirausaha, utamanya di bidang pertanian kepada anak-anak muda. Hal ini penting agar sistem subak tetap diwariskan secara turun temurun.
Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPRD Bali, Nyoman parta membeber data yang cukup mencengangkan soal alih fungsi lahan di Bali. Dalam tiga tahun terakhir, alih fungsi lahan di
Bali mencapai 3,4 hektar. Artinya, rata-rata dalam setahun alih fungsi lahan di Pulau Dewata lebih dari 1 hektar.
Parta mengaku sedang merumuskan formula agar alih fungsi itu dapat dibendung. Salah satunya memperkuat kewenangan desa pakraman untuk mencegah alih fungsi lahan yang makin masif tersebut.
Sebab jika dibiarkan, bukan tak mungkin lahan di Bali akan habis terganti dengan bangunan, utamanya fasilitas pendukung pariwisata. Salah satu cara mencegah alih fungsi lahan, menurutnya, dengan memperkuat kewenangan desa adat.
“Perda Desa Pakraman (desa adat) rencananya akan kami sempurnakan. Karena dalam perda itu tak diatur tentang peran hubungan desa pakraman dengan subak, terutama soal alih fungsi lahan,” kata Parta.
Menurut Parta, nyaris tak ada pengaturan tentang alih fungsi lahan, lantaran hal itu merupakan hak individual pemilik lahan. Kendati begitu, katanya, desa adat harusnya memiliki kekuatan untuk membendung alih fungsi lahan.
Tak hanya di Bali, alih fungsi lahan persawahan di Indonesia ternyata menunjukkan angka yang cukup tinggi. Lantaran alih fungsi lahan pertanian itu pula, petani di Indonesia harus membeli beras untuk menghidupi dirinya. Ini mencerminkan bahwa nasib kaum petani di Indonesia belum beruntung, sehingga berdampak pada upaya mengalih-fungsikan lahan mereka dari areal persawahan menjadi areal pemukiman.
“Bayangkan siapa yang tidak tergiur ketika penawaran atas lahan sawah mereka tinggi dan
ketika dikorelasikan dengan penghasilan yang mereka dapatkan sangat jauh dari mencukupi maka kemungkinannya adalah menjual sawah yang mereka miliki ,” jelas Direktur Pengelolaan Air, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI, Baginda Siagiaan, pada satu kesempatan di Bali.
Menurut pria keturunan Batak ini, kecenderungan tersebut diakibatkan pada penghasilan petani saat ini relatif rendah dibandingkan usaha yang mereka lakoni. Rata-rata alih fungsi lahan di Indonesia, sambungnya, berkisar 400 ribu hingga 500 ribu hektar tiap tahunnya. Sedangkan kemampuan pemerintah menciptakan areal persawahan baru baru mencapai 150 ribu hingga 200 ribu hektar pertahunnya. “Ini tentu tidak seimbang. Coba saja dilihat sebagian besar areal persawahan di perkotaan telah beralih fungsi menjadi areal pemukiman atau pertokoan,”
imbuhnya.
Soal kendala, Baginda menyebut yang dihadapi adalah ketersediaan anggaran, mengingat
syarat untuk lahan persawahan yang baru bukan saja dibutuhkan lahan dan sumber air, namun ketersediaan infrastruktur penunjang di wilayah tersebut. “Kalau hanya sekedar lahan kita rasa cukup untuk luar wilayah Jawa dan Bali. Namun yang paling penting adalah ketersediaan infrastruktur di daerah tersebut. Ini kan membutuhkan dana yang tidak sedikit,” paparnya.
Terkait dengan persoalan yang dihadapi kalangan petani di Indonesia yang berdampak pada
beralih-fungsinya lahan. Baginda menerangkan, pihak pemerintah selain menyediakan bantuan dana kepada petani, juga telah membuat rambu-rambu dalam rangka meminimalkan alih fungsi lahan dimaksud. “Memang sifatnya hanya mengimbau. Namun kita berharap sangat para petani di Indonesia lebih mengutamakan eksistensi sawah yang mereka miliki ketimbang harus menjualnya,” ucapnya lagi.
Sementara itu, alih fungsi lahan berkaitan erat dengan pesatnya perkembangan pembangunan di Bali. Semakin lama daya dukung dan daya tampung lingkungan semakin menurun, namun laju eksploitasi lingkungan tetap saja terjadi.
Menurunnya kualitas lingkungan akibat eksploitasi telah terbukti dengan adanya perubahan iklim. “Tentu saja perubahan iklim tersebut berakibat pada perubahan tatanan kehidupan lainnya dan akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia,” kata Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, I Wayan Suardana.
Selain itu, sambung pria yang pernah dibui lantaran membakar poster Presiden SBY ini, terdapat ancaman krisis sumber daya alam seperti lahan yang semakin berkurang, ancaman krisis air, krisis energi di masa mendatang. Dampak lainnya adalah ancaman sampah dan limbah yang berpengaruh besar bagi pencemaran lingkungan dan pada titik tertentu akan mengancam
keberlangsungan hidup manusia.
Keadaan tersebut, sambung pria yang akrab disapa Gendo itu, adalah gambaran nyata lingkungan hidup di Indonesia termasuk pulau di Bali, terlebih Bali yang sejak tahun 70-an pasca-kebijakan pengembangan pariwisata telah mengeksploitasi lingkungan hidup secara barbar, mulai dari pesisir samapai ke gunung. Fakta bahwa lahan di Bali semakin menyusut akibat alih fungsi lahan
berakibat kepada menurunya kawasan hijau serta wilayah pertanian yang secara tidak langsung akan berpengaruh kepada daya tahan pangan masyarakat. “Tentu saja mengancam eksistensi subak yang telah ada secara turun temurun,” kata Gendo.
Eskploitasi air telah memberikan potensi krisis air serta potensi konflik akibat rebutan sumber mata air di tingkat grass roots. Lalu pencemaran dan perusakan lingkungan hidup juga telah terjadi seperti pencemaran pantai di 13 kawasan pantai di Bali.
Akibatnya julukan Bali sebagai “pulau surga” mulai dikritik karena keadaan-keadaan tersebut di atas telah menjadi fakta umum. Bahkan majalah Time pernah menuliskan dalam pemberitaannya bahwa Bali adalah pulau neraka.
“Keadaan tersebut rupanya tidak banyak mengetuk kesadaran masyarakat terutama pemegang kebijakan di Bali, untuk mulai menata dan menjaga kualitas lingkungan. Kebijakan penguasa masih dalam paradigma keruk habis dengan liberalisasi pemanfaatan ruang. Di antaranya pembangunan megaproyek secara terus-menerus dan tiada henti,” kata pria yang akrab disapa Gendo ini.
Mantan Ketua PBHI Bali ini melanjutkan, hal lain yang terjadi atas dampak pembangunan pendukung sarana periwisata adalah membiarkan perusakan dan pencemaran terjadi tanpa ada langkah-langkah progresif dan langkah luar biasa. Sehingga, “pulau surga” saat ini makin ironis. Beberapa dekade ke depan, Bali sebagai pulau surga kemungkinan hanya menjadi imajinasi bagi setiap orang karena neraka menjadi begitu dekat di dalam realitas kehidupan manusia di Bali.
Untuk itu, katanya, harus ada perombakan besar dalam tataran kebijakan yang diambil oleh Gubernur Bali untuk menyelamatkan lingkungan hidup Bali yang semakin tergerus oleh pembangunan sarana pendukung pariwisata dengan cara memberlakukan penghentian sementara (moratorium) pembangunan. “Itu solusi tepat mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan dan keterdesakan ketersediaan lahan di Bali. Selanjutnya, mulai dipikirkan lagi arah pembangunan Bali yang memerhatikan aspek lingkungan hidup,” sarannya. BOB-MB
1 Komentar
Artikel yang bagus, semoga juga disosialisasikan penggunaan pupuk organik ditingkatkan dan pupuk non organik sedikit demi sedikit dikurangi…
Salam dari anak petani Jatiluwih