Badung (Metrobali.com) –

Seorang warga Lingkungan Ubung, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, bernama I Made Badra merasa malu dan dirugikan setelah namanya digunakan dalam gugatan perdata tanpa sepengetahuannya. Kasus ini memicu laporan ke Polda Bali dengan dugaan pemalsuan tanda tangan dan pelanggaran perlindungan data pribadi oleh seorang pengacara bernama I Nyoman Wirama, S.H.

I Made Badra, yang didampingi oleh kuasa hukumnya I Nyoman Sugita Yasa, menyatakan bahwa ia tidak pernah menandatangani surat kuasa yang menunjuk Wirama sebagai pengacaranya. Bahkan, Badra diketahui tidak bisa menandatangani dokumen dan biasanya menggunakan cap jari. Namun, dalam dokumen gugatan yang terdaftar di Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor register perkara No. 845/Pdt.G/2024/PN.DPS, terdapat tanda tangan atas nama Badra yang diduga palsu.

“Klien saya tidak mengetahui dirinya dicantumkan sebagai pihak penggugat. Ia juga tidak pernah diberi tahu tentang rencana gugatan tersebut,” ujar Sugita.

Kasus ini dilaporkan ke Polda Bali berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/725/X/2024/SPKT/POLDA BALI tanggal 19 Oktober 2024. Laporan tersebut mencakup dugaan pelanggaran Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi.

Gugatan tersebut mencantumkan beberapa pengacara dari kantor hukum “Bono Kertha Orde” yang beralamat di Jalan By Pass Ngurah Rai No. 88, Jimbaran. Selain Wirama, nama-nama seperti I Wayan Adi Aryanta, S.E., S.H., M.H., Hermina, S.H., dan lainnya turut tercantum sebagai penerima kuasa. Menurut Sugita, tindakan ini mencederai profesi advokat karena dilakukan tanpa sepengetahuan klien.

“Klien saya malu dengan pihak yang telah membantunya. Ia merasa sangat dirugikan karena seolah-olah menggugat pihak yang sebelumnya memberikan tali asih dan kompensasi secara baik-baik,” tambah Sugita.

Selain dugaan pemalsuan dokumen, Badra juga mengaku mengalami intimidasi. Pada 8 Desember 2024, malam hari, Wirama bersama beberapa orang mendatangi rumah Badra. Dalam kondisi tertekan, Badra diminta membubuhkan cap jempol pada dokumen yang disebut sebagai surat perdamaian. Badra tidak memahami isi dokumen tersebut, yang belakangan diketahui terkait dengan laporan pidana terhadap Wirama.

Sugita menyebut tindakan ini melanggar etika profesi advokat dan berpotensi menjadi tindak pidana baru berdasarkan Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan. “Klien kami merasa terintimidasi dengan kedatangan mereka. Tindakan ini jelas melampaui batas etika profesi advokat,” tegasnya.

Sementara itu, Wirama membantah tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa surat kuasa diserahkan melalui koordinator warga, Wayan Bulat, dan Badra hadir bersama anaknya saat penyerahan dokumen di Pura Belong Batu Nunggul. Wirama juga menambahkan bahwa Badra diketahui pernah hadir dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar.

“Kami hanya menjalankan tugas sebagai advokat yang dilindungi oleh undang-undang,” ujar Wirama.

Dengan kasus yang terus bergulir, I Made Badra berharap Polda Bali dapat mengusut tuntas kasus ini agar memberikan keadilan bagi dirinya. “Kami berharap ada efek jera terhadap tindakan semacam ini,” pungkas Sugita. (Ist)