Denpasar (Metrobali.com)-

Tiga hari belakangan ini media massa memberitakan soal pemblokiran jalan di Sumberklampok. Beberapa kali sempat disebut-sebut soal Hak Tanah Milik Pemprov Bali, yang mengabaikan hak rakyat. Sehingga inisiatif Gubernur  Pertemuan atas Masalah Sumber Klampok hanya basa-basi. Hal itu dikatakan Made Indrawati. Sekretaris KPA Bali, Senin (11/11).

 Menurut Made Indrawati, pertemuan antara perwakilan masyarakat Sumberklampok dengan pihak Pemprov Bali  tidak menyentuh akar masalah. Oleh karena itu kami merasa perlu memberi tanggapan sebagai berikut:

1. Memang benar bahwa PT. Dharmajati telah mendapat HGU 1 bidang, dan PT Margarana mendapatkan HGU atas 3 bidang perkebunan yaitu: HGU No. 1 atas perkebunan Sendang seluas 246,5 Ha, HGU. No. 2 atas perkebunan Sumberbatok seluas 297 Ha dan HGU No. 3 atas perkebunan Telukterima seluas 151 Ha. Namun tidak pernah di daftarkan ke BPN RI, sehingga status tanah tersebut menjadi Tanah Negara eks Hak Erfacht, yang digarap rakyat (Rekomendasi DPR RI 1991).

2. Untuk kepentingan masyarakat, Gubernur Bali (Dr. Ida Bagus Oka) meminta kepada PT. Dharmajati dan PT Margarana agar HGU dua HGU (No. 2 dan HGU No. 3) diperuntukan kepada masyarakat, sedangkan HGU No.1 perkebunan Sendang tetap diberikan kepada PT Margarana. Untuk HGU Sendang menjadi persoalan tersendiri antar warga dengan PT. Margarana.

3. Sesuai surat Gubernur Bali No. 3264/BT, Pem tanggal 8 Maret 1998, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kedua bidang perkebunan tersebut (Sumberbatok dan Telukterima) sudah diserahkan kepada Pemkab Buleleng.

4. Surat Sekda Bali (Drs. Putu Wijanaya) No. 591.53/10590/BT. Pem tanggal 20 September 2001 agar ganti rugi kepada PT Margarana ditangani oleh Bupati Buleleng.

5. Surat Gubernur Bali (Drs. Dewa Made Beratha) No. 593/9117/BT.Pem tanggal 2 Agustus 2001 agar Bupati Buleleng menyusul permohonan HPL atas kedua bidang tanah tersebut agar memperoleh kepastian hukum.

6. Pada tanggal 3 Juli 2003 telah ditandatangani berita acara serah terima tanah (Berbentuk sertifikat dan ganti rugi eks. HGU No.2 dan eks. HGU No. 3 antara Bupati Buleleng Drs. Putu Bagiada dan Dirut PT Margarana Drs. Putu Oka.

7. Dengan diizinkannya PT Margarana masih tetap mengelola perkebunan Sendang, sesuai surat Gubernur Bali (Drs. Dewa Made Beratha) No. 591/4683/B. Tapem tanggal 31 Juli 2002 dan Rekomendasi No. 593/8998/Per tanggal 30 Oktober 2006 maka dengan dasar rekomendasi tersebut keluarlah persetujuan dari BPN RI untuk diproses lebih lanjut, berdasarkan surat No. 1878-310/3-D/II tanggal 3 Juni 2008.

8. Belum sampai tuntas persoalan tersebut di atas, Gubernur Bali (Made Mangku Pastika) menggugat melalui PN Singaraja, bahwa ketiga tanah tersebut adalah diakui milik Pemprov Bali. Gugatan tersebut dimenangkan oleh Gubernur Bali baik di PN Singaraja maupun di tingkat banding PT Denpasar sedangkan Gubernur Bali sampai saat ini belum mempunyai bukti hak atas tanah tersebut (baru mengajukan permohonan, Bali Post 24 Juli tahun 2012). 

Pemkab Buleleng tidak mengajukan kasasi, hanya sampai banding, sedangkan PT Margarana mengajukan kasasi karena keputusan pengadilan, dinilai kontroversial (tidak mempertimbangkan fakta hukum dari PT Margarana), sejarah tanah dan rakyat yang membuka hutan dan mengelola tanah sampai sekarang belum ada keputusan.

9. Klaim dan gugatan Gubernur Bali atas tanah Sumberklampok (dan juga Sendangpasir) ditenggarai berkaitan dengan adanya temuan atau kualifikasi “Disclaimer” dari BPK di tahun 2010, khususnya berkaitan dengan pemanfaatan anggaran “pemeliharaan asset daerah,” yang diduga beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  

Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, Gubernur Bali gagal dalam mengimplementasikan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. Sekaligus  berpotensi “mengabaikan kedaulatan rakyat, sejarah tanah, sewenang-wenang dan bahkan mengarah pada perbuatan melawan hukum pemerintah/penguasa”. 

Untuk itu, Gubernur Bali harus segera mencabut permohonan dan gugatan hukum atas tanah tersebut, serta  mengeluarkan Rekomendasi kepada BPN Pusat untuk Menerbitkan Penetapan terhadap Tanah Eks HGU PT. Dhamajati dan PT. Margarana 1, 2, dan 3 di Sumberklampok serta Sendangpasir sebagai “tanah terlantar” yang menjai objek Reforma Agraria bagi segenap penggarap, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2010.

Tak Janji Atasi Konflik

Sebelumnya, Gubernur Bali Made Mangku Pastika tak memberikan janji apa pun terkait konflik dengan wagra atas kepemilikan aset milik pemerintah daerah setempat di Desa Sumber Kelampok, Kabupaten Buleleng.

“Saya tidak mungkin untuk berjanji apa pun kepada masyarakat di sana (Sumber Kelampok) saat ini,” katanya saat menggelar pertemuan yang membahas persoalan tuntutan masyarakat setempat terkait penyertifikatan tanah di Desa Sumber Kelampok di Denpasar, Senin.

Pihaknya tidak mungkin memberikan rekomendasi atau melepaskan hak milik tanpa prosedur yang terlebih dahulu melalui rekomendasi di DPRD Provinsi Bali.

Untuk itu pihaknya meminta DPRD Bali untuk mempercepat pembentukan panitia khusus (Pansus) aset untuk menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut tanah dan kekayaan pemerintah daerah termasuk di Desa Sumberklampok yang semula dijadwalkan dibentuk pada Desember 2013.

“Mudah-mudahan segera terbentuk dan mungkin bisa dipercepat jangan sampai menunggu Desember karena menyangkut banyak hal,” ucap Pastika.

Ketua Komisi I DPRD Bali, Made Arjaya menyatakan bahwa pansus tersebut akan mengkaji jumlah kepala keluarga, lokasi, kepemilikan, serta pembagian tanah berdasarkan kartu keluarga.

Dikatakan bahwa sebelum surat keputusan pelepasan hak milik atas tanah aset Pemerintah Provinsi kepada warga setempat, wakil rakyat terlebih dahulu memberikan rekomendasi kepada gubernur.

Kemudian rekomendasi tersebut akan dikaji kembali untuk dilepas atau dipertahankan. Setelah itu apabila pemerintah melepaskan hak milik, maka dewan akan mengeluarkan rekomendasi kembali untuk menyetujui pelepasan hak milik kepada warga.

“Mekanisme itu harus melalui rekomendasi dewan. Gubernur mengambil dari rekomendasi itu. Walaupun untuk kepentingan masyarakat tetapi tanah ini jelas milik Pemprov Bali,” ucapnya.

Arjaya mengusulkan bahwa setiap kepala keluarga diberikan tanah seluas 4 are dan selebihnya dijadikan tanah garapan. Namun hal itu baru sebatas usulan yang belum final.

“Tanah yang diberikan kepada masyarakat menjadi tempat tinggal sesuai surat hak milik (SHM) dan sisanya masyarakat harus mempunyai tanah garapan yang diajukan melalui izin menggarap,” ucapnya. RED-AN-MB