Ini temuan UGM soal penyebab banjir bandang Garut

Foto aerial kondisi bangunan rusak akibat banjir bandang aliran Sungai Ciamanuk di Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9/2016). (ANTARA/Wahyu Putro A)
 
Yogyakarta (Metrobali.com)-
Dari hasil kajiannya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyampaikan mengenai penyebab-penyebab terjadinya banjir bandang di Garut, Jawa Barat, beberapa hari lalu.

“Selain faktor alam, penyebab terjadinya bencana banjir bandang di Garut beberapa hari lalu juga dikarenakan perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan kondisi alamnya,” ujar Rektor UGM Dwikorita Karnawati saat ditemui di kampus UGM, Yogyakarta, Selasa.

Ia mengatakan, banjir bandang bisa terjadi karena daerah Garut layaknya sebuah mangkok, dimana Kabuten Garut dikelilingi oleh tujuh gunung api, sehingga air bermuara pada suatu titik.

Kondisi inipun, katanya, diperparah dengan daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk yang mengalami pendangkalan.

“Curah hujan yang tinggi, dengan intensitas 255 milimeter, sementara sebelumnya juga terjadi hujan sehingga tanah mengalami kejenuhan menyerap dan terjadi pendangkalan dan penyumbatan saluran-saluran air,” terang dia.

Ia mengingatkan, fenomena banjir bandang dan longsor di Garut bisa terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

Oleh karena itu, tambah dia, beberapa pihak diminta untuk bersiaga dan mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana serupa. Ia menambahkan, hasil kajian yang dilakukan UGM dari berbagai bidang ilmu menyimpulkan terjadinya banjir dan tanah longsor di Garut karena faktor alam dan non-alam. Pemerintah, masyarakat dan beberapa pihak untuk selalu siap siaga denganearly warning.

“Tidak harus dengan alat tetapi bisa dengan human sensor atau dalam bahasa jawa sebagai ilmu titen’. Sehingga meski tidak hujan, air sungai menjadi keruh dan muka air naik, sebaiknya mereka yang tingal di pinggir sungai menyingkir,” ungkap Rektor UGM.

Ia mengatakan, antisipasi untuk mid term dan long term, bisa dilakukan peninjauan ulang tata ruang atau tata guna lahan.

Selain itu, katanya lagi, perlu diperhatikan pula alternatif kehidupan sosial ekonomi masyarakat dalam konteks pemanfaatan lahan.