Jro Gde Sudibya, ekonom dan pengamat ekonomi politik.

Denpasar, (Metrobali.com)

Dalam sejarah komtemporer negeri ini, krisis ekonomi yang ditandai oleh inflasi yang tinggi, meminjam istilah para ekonom run way inflation, berdampak pada krisis politik yang kemudian diikuti oleh penggantian pemerintahan.

Inflasi tinggi di tahun 1965 setinggi 500 persen dan kemudian 650 persen di tahun 1966 yang oleh ekonom Ali Wardhana dalam disertasinya di Harvard University Berkley disebut sebagai war economy – ekonomi perang – pada akhirnya melahirkan Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967 yang mencabut kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.

Krisis keuangan yang terjadi tahun 1998, dengan angka pertumbuhan ekonomi minus 14 persen dan laju inflasi 80 persen, sejarah mencatat Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden di hadapan Mahkamah Agung, tanggal 21 Oktober 1998 di Istana Negara Jakarta.

Dalam sejarah kontemporer negeri ini, krisis ekonomi dengan salah satu indikatornya laju inflasi, merupakan highly risk dalam percaturan politik kekuasaan.

Dalam konteks berpikir yang disederhanakan ini, kita simak kebijakan yang diambil pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari kenaikan harga BBM, yang berupa kebijakan jaring pengaman sosial, yang nilainya Rp.24.17 triliun, dengan rincian: Rp.12.4 triliun untuk BLT bagi 20,65 juta keluarga, Rp.600 ribu per keluarga dibayarkan 2 kali. BSU (Bantuan Subsidi Upah) dengan nilai Rp.9.6 triliun bagi 16 juta pekerja yang penghasilannya di bawah Rp.3.5 juta dan terdaftar dalam program Jamsostek , dengan nilai Rp.600 ribu per pekerja. Subsidi transportasi umum senilai Rp.2.17 triliun.

Bantuan sosial ini sangat diperlukan oleh warga, sekaligus untuk menunjukkan negara hadir di masa krisis, tetapi tidak memadai dalam meredam krisis ekonomi pada masyarakat yang sudah “babak belur” ditimpa krisis ekonomi akibat pandemi yang telah berlangsung lebih dari 2 tahun.

“Hantu” inflasi sebagai gejala moneter dan gejala struktural dalam perekonomian, sebut saja tidak cukup dengan menguatik-atik suku bunga acuan BI untuk menekan permintaan dengan harapan menekan inflasi. Diperlukan kebijakan lebih inovatif yang merupakan sinergi dari otorotas moneter dan fiscal, di tengah lanskap ekonomi dunia yang sarat tekanan: bayangan stagflasi, krisis pangan dan energi dan suhu politik yang terus memanas akibat perang Ukraina – Rusia, dan ketegangan berkelanjutan di Selat Taiwan.

Dari sisi analisa risiko politik – political risk assesment -, kondisi sekarang lebih kompleks dibandingkan dengan era tahun 1960’an dan era tahun 1990’an.