Bendera-Australia

Jakarta (Metrobali.com)-

Pakar hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Atip Latipulhayat menegaskan, Pemerintah Indonesia harus kukuh dan tidak perlu takut terhadap ancaman Australia terkait rencana eksekusi terpidana mati dua warga negara itu.

“Media di Indonesia pun harus mendukung penuh kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia sebagaimana media di Australia mendukung dan ‘mengompori’ Pemerintah Australia agar mengancam kedaulatan hukum Indonesia,” katanya dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, Jumat.

Dia mengakui, rencana pelaksanaan eksekusi terpidana mati menuai kecaman dunia, khususnya dari Australia karena ada dua warganya, Andre Chan dan Myuran Sukumaran, yang akan dieksekusi. Pemerintahan Indonesia diminta untuk tegas dan tidak takut atas ancaman Australia tersebut.

Atip menjelaskan beberapa alasan. Pertama, hukuman mati diakui eksplisit dalam sistem hukum negara Indonesia secara selektif, termasuk di dalamnya kejahatan yang berkaitan dengan narkoba. Karena itu, pemerintah asing, dalam hal ini Australia harus menghormati kedaulatan hukum negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak boleh diintervensi.

“Harus dibedakan, ketika Australia memohon untuk tidak dieksekusi, itu adalah hak mereka. Namun ketika Indonesia yang memiliki kedaulatan hukum tidak menerimanya, maka Australia harusnya jangan melakukan tindakan-tindakan yang intervensif dan menunjukkan ketidakhormatan terhadap kedaulatan hukum Indonesia,” kata Atip yang juga Ketua Departemen Hukum Internasional FH Unpad.

Alasan kedua, menurut Atip, ada gagal paham dari pihak-pihak yang mengadvokasi penghapusan hukuman mati yang melihatnya dari sisi pelaku namun tidak memperhatikan kedudukan korban yang mengalami kerugian yang paling besar.

“Betul itu adalah hak hidup, namun bagaimana kalau ia telah mengambil hak hidup orang lain,” kata Atip yang alumni program doktor di Monash University Australia.

Karena itu, kata dia, harusnya yang diadvokasi bukan penghapusan hukuman mati, namun perbaikan kualitas hukum, mulai dari pembuktian sampai dengan putusan hakim.

Terkait dengan ancaman Perdana Menteri Australia melarang warganya berlibur ke Indonesia, kata dia, hal itu adalah hak mereka. Namun itu tidak bermakna apa-apa bagi Indonesia.

“Saya teringat sekitar tahun 2005-an, ketika itu saya mengambil doktoral di Australia. Saat itu ada WN Australia yang akan dieksekusi mati oleh Singapura karena kasus narkoba,” katanya.

Pemerintah Australia melakukan berbagai usaha untuk mencegahnya, termasuk memboikot Singapura Airlines. “Ternyata tidak digubris oleh Singapura. Ancaman itu tidak ada efek bagi Singapura,” katanya.

“Saya menyaksikan ketika itu, Warga Australia sendiri tidak mempermasalahkannya karena memahami kedaulatan hukum sebuah negara. Jadi usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Australia tidak lebih ingin unjuk gigi membela warganya. Ingin cari muka. Karena itu adalah hal biasa,” katanya.

Terkait dengan argumentasi resiprokal untuk menukar terpidana mati, menurut Atip, tidaklah tepat karena resiprokal tidak terkait dengan kedaulatan, tetapi terkait dengan treatment (perlakuan).

“Di sini tidak ada persoalan diplomatik. Tetapi terkait dengan sistem hukum yang harus dihormati. Sebagaimana juga ketika ada warga Indonesia yang dihukum mati di negara lain, maka Pemerintah Indonesia berhak mengupayakan agar diberikan ampunan terhadapnya,” katanya Karena itu, kata Atip, upaya-upaya dari negara adalah hal biasa dengan tetap harus menghormati kedaulatan hukum sebuah negara. Pemerintah Indonesia harus “keukeuh” dan tidak “keder” terhadap ancaman Australia. AN-MB