Badung, (Metrobali.com)

 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI sedang merancang peraturan untuk menekan maraknya ilegal fishing bersama 78 negara yang tergabung dalam dewan Pertanian PBB (FAO of the United Nations) Keempat Para Pihak untuk Kesepakatan terhadap Tindakan Negara Pelabuhan (Port State Measures Agreement/PSMA.

Menteri KKP RI Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, berdasarkan penemuan pihaknya bahwa ada sekitar 50 ribu lebih kapal ikan yang beroperasi secara ilegal di lautan Indonesia yang mengambil ikan secara masif.

Tidak hanya kapal lokal dalam negeri kata dia kapal ikan nelayan asal negara luar seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina juga menyerbu lautan Indonesia.

Karena itu, pihaknya bersama FAO dan negara yang tergabung di dalamnya akan terus mentertibkan kapal – kapal tersebut lantaran beroperasi tidak memiliki izin.

“Caranya dengan menerapkan penangkapan ikan secara terukur dimana katanya dengan menggunakan basis kuota kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN, 2022) dimana potensi lestari perikanan tangkap dari 12,54 juta ton (2017) menjadi 12,01 juta ton, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80 persen,” kata Sakti di Kuta, Badung, Bali, Senin (8/5/2023).

Nantinya, kata Sakti yang tidak memiliki kuota oleh Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDK) pasti akan distop.

“Kuota akan kita berikan ke seluruh nelayan di RI baik lokal maupun pengusaha tadi saya katakan 12 juta itu populasinya yang boleh diambil 80 persen dari 12 juta tapi kalau bisa penangkapan itu semakin sedikit lebih bagus supaya populasinya terjaga dengan baik budidayanya yang kita tingkatkan,” imbuhnya.

Saat ini, kata Sakti pelabuhan di Indonesia terbagi dalam 6 zona, yaitu zona 1 berbatasan dengan laut China Selatan, Zona 2 dimulai dari Bitung sampai dengan Biak WPP 716-717, Zona 3 WPP 714-715-718 laut Arafura laut seram dan laut Banda, Zona 4 572-573 Kupang sampai Aceh yang berbatasan dengan lautan Hindia, Zona 5 selat Malaka, 571 dan Zona 6 712-713 laut Jawa, laut Sulawesi, selat Makassar dan Kalimantan.

“Zona sudah dibuat, ketentuannya sedang dijalankan. Tapi implementasi dari penangkapan ikan terukur belum dijalankan karena peraturan teknisnya melalui peraturan menteri sedang dalam proses perencanaan,” ungkap Sakti di sela-sela giat Port State Measure Agreement (PSMA) 4th FAO meeting.

Sakti berujar keinginannya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tahun lalu.

“Tapikan baru ditandatangani Februari tahun ini ya jadi saya butuh 2 3 bulan untuk menyelesaikan seluruh infrastruktur, baik itu peraturan peraturan terutama adalah payung hukumnya,” jelas Sakti.

Keinginan Sakti ini tentu saja didukung penuh oleh pihak FAO. QU Dongyu, Direktur Jenderal FAO, menyebut penangkapan ikan illegal sebagai ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya dan ekosistem laut, dan mata pencaharian 600 juta orang yang bergantung padanya.

“Perikanan tangkap berkelanjutan dan akuakultur berkelanjutan memiliki potensi besar untuk memberi makan dan menyehatkan populasi dunia yang terus bertambah dan meningkatnya permintaan akan makanan akuatik yang sehat,” kata Dr Dongyu dalam pesan video singkatnya di FAO meeting.

Ia menambahkan bahwa PSMA dapat mendukung transformasi perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.

Pewarta : Tri Prasetyo