Dr. Setiari Marwanto (paling kanan) berbicara di Paviliun Uni Eropa pada COP ke-25.

Jerman (Metrobali.com)-

Konferensi Para Pihak (COP) ke-23 di Bonn, Jerman tahun 2017, menjadi tonggak pengakuan dunia akan arti penting sektor pertanian dalam agenda perubahan iklim. Pertanian di negara-negara yang tergabung dalam kelompok G77 dan China dinilai sangat rentan terhadap perubahan iklim.

 

COP mengamanatkan badan subsider UNFCCC (Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB) membentuk satuan kerja yang diberi nama Koronivia Joint Work on Agriculture (KJWA) untuk membahas berbagai isu adaptasi sektor pertanian seperti perbaikan kesuburan dan kesehatan tanah, karbon tanah, dan pengelolaan air, perbaikan pengelolaan hara dan pengelolaan kotoran ternak, perbaikan sistem pengelolaan hewan ternak, serta penguatan aspek sosial ekonomi dan ketahanan pangan.

 

Pada COP25 bulan Desember 2019 yang dilaksanakan di Madrid, Spanyol, KJWA bekerja untuk membuat report pelaksanaan workshop di Bonn, Jerman pada bulan Juni 2019 lalu dengan topik perbaikan kesuburan dan kesehatan tanah, karbon tanah.

 

Terkait dengan hal ini, Dr. Setiari Marwanto, Delegasi RI (DELRI) sektor Pertanian, berbicara di Pavilion Uni Eropa mengenai pengalaman Indonesia dalam topik tersebut. Dalam paparannya, Setiari mengatakan bahwa pengelolaan kesuburan, kesehatan, dan karbon tanah di Indonesia dilakukan dengan menggunakan bahan organik seperti seperti pupuk kandang dan pupuk sisa biomassa tanaman.

 

Bahan organik berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah, aerasi tanah, kapasitas memegang air, dan kapasitas tukar kation sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan hasil tanaman. Bahan organik juga mampu menyehatkan tanah dengan terciptanya habitat mikrob dan fauna tanah. Pemberian bahan organik ke dalam tanah juga berarti mengurangi karbon di atmosfer dan meningkatkan karbon tersimpan di dalam tanah.

 

Namun demikian, distribusi bahan organik di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Ada daerah yang memiliki kelebihan produksi bahan organik, namun ada juga yang kekurangan bahan organik. Pemberian bahan organik ke dalam tanahpun bervariasi sesuai dengan tingkat kapasitas dan modal petani. Inisiatif global untuk membantu pertanian Indonesia mengelola kesuburan dan kesehatan tanah sekaligus meningkatkan cadangan karbon di dalam tanah akan sangat berguna untuk mendorong sektor ini cepat beradaptasi di tengah perubahan iklim.

 

Agenda KJWA lainnya dalam COP25 ini adalah melaksanakan workshop mengenai topic perbaikan pengelolaan hara dan kotoran ternak. Pada agenda ini, Indonesia diminta untuk berbagi pengalamannya di hadapan delegasi negara-negara anggota PBB. Indonesia yang diwakili oleh Prof. Dr. Fahmuddin Agus, memaparkan tentang teknologi pemupukan berimbang dan efisien. Pemupukan berimbang adalah pemberian hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman; sedangkan pemupukan efisien adalah pemberian pupuk yang tepat waktu, tepat cara, tepat dosis, dan tepat jumlah.

 

“Dengan meningkatkan efisiensi pupuk dan menerapkan pemupukan berimbang, sektor pertanian Indonesia akan lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, karena tanaman yang dipupuk lebih sehat dan pupuk tidak terbuang percuma. Pengelolaan hara yang benar memberikan keuntungan tambahan berupa pengurangan emisi GRK,” papar Fahmuddin Agus.

 

Indonesia telah menerapkan berbagai aksi adaptasi, namun ke depan Indonesia perlu memperbaiki cara pengelolaan pertanian dan perlu memperluas adopsi teknologi adaptasi, agar pertanian Indonesia dapat mewujukan ketahanan pangan dan tangguh terhadap cekaman perubahan iklim.