Denpasar (Metrobali.com)-

Hindu Ida Pandita Mpu Jaya Premananda meluncurkan buku otobiografi berjudul “Wartawan Jadi Pendeta” yang mengupas perjalanan hidupnya dari keluarga miskin hingga menjadi wartawan dan kini mengabdi kepada umat.

“Buku ini diawali dengan pertanyaan besar, mengapa setelah menjadi wartawan, tidak menjadi pengamat politik, poltisi, pengusaha, atau penulis? Saya sendiri sulit menjelaskan karena prosesnya panjang, menyangkut keluarga saya dan keluarga besar yang pernah morat-marit,” katanya saat meluncurkan buku otobiografinya di Denpasar, Sabtu (1/6).

Ida Pandita menyatakan bahwa keputusannya menjadi pendeta adalah untuk mengabdikan diri kepada umat sebagai cara mensyukuri kehidupan, selain membayar utang budi kepada leluhur.

“Berdasarkan keyakinan, kami tidak ingin melanggar kewajiban yang harus kami terima dan tak boleh diabaikan untuk siap menjadi pemangku (pemimpin upacara ritual di pura),” ujarnya.

Pendeta yang ditasbihkan sebagai Nabe (pendeta yang sudah boleh mengangkat murid untuk dididik menjadi pendeta) pada 3 Juli 2012 itu sebelumnya merupakan pensiunan wartawan Tempo tahun 2006 silam.

Pada buku setebal 404 halaman tersebut, wartawan senior kelahiran Pujungan, Tabanan 4 April 1951 itu masih menggunakan nama sesuai dengan kelahirannya yakni Putu Setia, nama asli sebelum ditasbihkan menjadi pendeta Hindu yang kemudian berganti menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Premananda.

Buku dengan “cover” wajahnya itu dibagi ke dalam 16 bab yang memiliki kisah berbeda mulai dari janji menjadi pemangku (pendeta), getinya kehidupan di tengah kemiskinan, putus sekolah menengah, menjadi jurnalis, hingga menjadi pendeta “gaul” karena memiliki akun jejaring sosial “facebook” dan “twitter”.

Tak hanya itu, kesaksian terkait sejarah kelam penumpasan Gerakan 30 September atau G30S/PKI juga diulas, sebagai bagian pengalaman hidup mantan jurnalis yang telah memiliki empat orang cucu itu.

Pada peluncuran buku tersebut, hadir sejumlah wartawan senior dan junior Pulau Dewata, pecinta buku, hingga Gubernur Bali Made Mangku Pastika, yang telah lama mengenal mantan redaktur senio Tempo tersebut.

Pastika mengharapkan agar tulisan tersebut menjadi inspirasi bagi masyarakat dan introspeksi menjadi lebih baik.

“Saya berterima kasih atas tulisan ini. Tetapi ini bukan semata tulisan karena pengabdian Beliau kepada Bali yang disampaikan kritis dan objektif untuk introspeksi dan perbaikan ke depan,” ujarnya. INT-MB