Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (kiri) dan Gulfino Guevarrato dari Divisi Advokasi FITRA (kanan) dalam jumpa pers di kantor ICW, Rabu, 9 Oktober 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)

Jakarta, (Metrobali.com)-

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta KPK mengadili tersangka kasus korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, secara in absentia karena keberadaan mereka masih misterius.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memasukkan tersangka kasus korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya sudah meminta bantuan kepada Polri untuk mencari dua orang tersebut.

Menanggapi hal itu, dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Rabu (9/10), peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta KPK mengadili kedua buronan tersebut secara in absentia karena keberadaan mereka masih misterius.

Menurutnhya, KPK harus menetapkan batas waktu pencarian terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim agar penyelidikan dan proses peradilannya tidak berlarut-larut.

“Kalau memang batas waktu itu tidak juga berhasil ditemukan, maka mau tidak mau harus diajukan ke persidangan dengan konsep peradilan in absentia. Harapannya agar kalaupun pemidanaan badan tidak bisa dilakukan, harusnya peramnpasan aset bisa dilakukan karena kerugian negara Rp 4,58 triliun,” kata Kurnia.

Kurnia menilai putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung adalah tindakan yang tidak tepat. Ditambahkannya, putusan bebas itu sulit diterima logika karena ketika itu sebagai kepala BPPN, Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas walau obligor BLBI, Sjamsul Nursalim, belum melunasi kewajibannya.

Menanggapi putusan kontroversial Mahkamah Agung tersebut, kata Kurnia, ICW mendesak untuk segera mengajukan Peninjauan Kembali.

Korupsi BLBI Dinilai Sebagai Bencana Keuangan Terbesar di Indonesia

Menurut Gulfino Guevarrato dari Divisi Advokasi FITRA, kasus korupsi BLBI merupakan bencana keuangan terbesar sejak Indonesia berdiri. Dia menjelaskan untuk menyelamatkan bank-bank dari kebangkrutan, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 144 triliun. Namun 138 triliun di antaranya atau hampir 95 persen berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tidak jelas peruntukannya.

Gulfino menekankan penting untuk terus mengangkat skandal BLBI karena negara masih dibebani, yakni harus membayar utang BLBI sekitar Rp 11,4 triliun setiap tahun dan ini akan berlangsung sampai 2023.

Dia menambahkan meski pemerintahan sudah bergonta ganti, namun penyelesaian skandal BLBI masih tetap menemui ganjalan.

“FITRA misalnya menilai bahwa sejauh ini keinginan politik dari pemerintah juga tidak terlihat. Beberapa upaya untuk menyelesaikan persoalan BLBI seringkali dicoba untuk digembosi,” ujar Gulfino.

Gulfino mencontohkan Mahkamah Agung yang akhirnya membebaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung melalui putusan kasasinya pada Juli lalu. Padahal Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memperberat vonis untuk Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Syafruddin dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider tiga bulan kurungan.

Contoh lain upaya penggembosan terhadap penyelesaian skandal BLBI, lanjut Gulfino, adalah gugatan perdata yang diajukan pengacara Sjamsul Nursalim terhadap salah satu auditor BPK.

Gulfino menegaskan semua pihak jangan melupakan dan menganggap remeh kasus BLBI.

Dua Kali Dipanggil KPK, Sjamsul Nursalim Tetap Mangkir

KPK sudah menetapkan Sjamsul dan Itjih Nursalim sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sjamsul diduga menjadi pihak yang diperkaya Rp 4,58 Triliun.

KPK telah dua kali memanggil Sjamsul dan Itjih Nursalim buat dimintai keterangan, yakni pada 28 Juni dan 19 Juli 2019. Namun bos PT Gajah Tunggal Tbk dan istrinya itu mangkir tanpa surat keterangan atau alasan ketidakhadiran.

Surat panggilan untuk kedua tersangka tersebut telah dikirim ke lima alamat di Indonesia dan Singapura.

Ketua KPK Janji Selesaikan “Pekerjaan Rumah” Sebelum Akhir Tahun

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berjanji akan menuntaskan sejumlah kasus yang ditangani KPK saat ini sebelum masa kepemimpinannya berakhir Desember 2019.

Agus menyebut ada dua perkara yang menurutnya harus tuntas, yaitu kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan e-KTP.

“Semaksimal mungkin kita selesaikan jadi seperti BLBI kita kan sudah mentersangkakan baru ya, jadi insyaAllah itu bisa selesai sebelum kita meninggalkan tugas. Perkembangan kasus e-KTP juga begitu kita sudah menaikkan beberapa tersangka baru,” ujar Agus.

Agus berharap kasus-kasus yang telah ditangani KPK saat ini dilanjutkan oleh pimpinan KPK terpilih kelak.

Terkait dengan desakan mengadili Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim secara in absesia, KPK menyatakan hal itu bisa dilakukan. [fw/em] (VOA)