Denpasar, (Metrobali.com)-

Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia (ICHI) Bali menerima ahli menejemen pura dari India, Mr. Giresh Kulkarni yang merupakan penggagas Tempel Connect India. ICHI Bali dengan ahli pura ini mendiskusikan menejemen pura di tengah perkembangan pariwisata di Bali di Denpasar, Senin (10/6).

Pada kesempatan itu hadir Ketua ICHI Bali, Dr. NLP. Purnamawati, ahli pariwisata spiritual dan agama, Dr. I Gede Sutarya, ahli agama Hindu, Dr. I Made Adi Surya Pradnya dan I Nyoman Sender.

Kulkarni menjelaskan, pura-pura di India hampir 80 persen menerima kunjungan orang-orang asing. Pada pura-pura tersebut, umat non-Hindu juga bisa masuk dan melakukan persembahyangan, tetapi mereka harus mengikuti peraturan yang berlaku pada pura-pura tersebut. “80 persen, pura-pura terbuka untuk orang asing,”jelasnya.

Ditambahkan, 20 persen pura di India tertutup bagi orang asing, hanya untuk umat Hindu dari India. Pura-pura ini biasanya merupakan pura-pura tua yang bertebaran di India selatan. Contohnya adalah Pura Jaganath Puri, pura ini tertutup untuk orang non-India. Hanya umat Hindu dari India yang bisa memasuki pura dan sembahyang di pura ini. “Ada lagi sebagian pura seperti di Kerala yang sejenis,”katanya.

Sutarya menjelaskan, pura-pura di Bali sebenarnya tertutup untuk orang asing, sebab orang-orang yang bisa memasuki pura adalah orang yang melakukan samskara (upacara penyucian diri). Contohnya mereka yang menikah, harus telah melakukan upacara penyucian pernikahan mereka. Jika mereka tidak melakukan itu maka mereka akan mengotori pura jika memasuki pura. “Pura-pura di Bali sebenarnya hanya untuk orang Bali yang beragama Hindu,”ujarnya.

Peraturan Gubernur Bali, tegasnya, telah melindungi itu dengan mengatur bahwa hanya orang yang bersembahyang yang bisa memasuki pura. Pada kenyataannya, banyak wisatawan yang memasuki pura seperti di Pura Tirta Empul dan Batuan, tetapi mereka berasalan bahwa mereka adalah umat Hindu, yang kini memang tersebar di seluruh dunia. Pandangan samskara (upacara penyucian) kini telah berubah, bahwa seseorang yang hanya mengucapkan mantra gayatri sudah bisa disebutkan telah melakukan samskara. Karena itu, pura-pura di Bali kini terbuka untuk wisatawan yang percaya kepada Hinduisme. “Itu perkembangannya sekarang, karena perubahan yang abadi,”katanya.

Dia mencontohnya, pada saat ini, wisatawan kini ramai melakukan upacara malukat di Pura Tirta Empul. Padahal sebelumnya, hanya umat Hindu-Bali yang melakukan upacara tersebut. Hal ini terjadi juga pada pura-pura lainnya. Karena itu, pariwisata memang telah membawa berbagai perubahan di Bali. “Ini perubahan yang terjadi karena pariwisata,”tegasnya.

Kulkarni tidak memungkiri perubahan itu, karena itu disarankan untuk mempelajari menejemen pura. Kedatangan orang yang berbanyak bisa menimbulkan ketidaknyamanan karena itu perlu ada pengaturan. Karena itu, ia mengajak untuk bersama belajar  memenejemen pura. Ia memperkenalkan organisasinya yang setiap tahun melakukan berbagai konferensi. Karena itu, ia mengundang para intelektual Bali untuk ikut dalam konferensi.

Purnawati menyambut baik hal itu. Dia menyatakan, perlu untuk belajar dari berbagai tempat untuk mengelola pura secara baik. Perkembangan teknologi tentu akan membawa berbagai perubahan dalam mengelola pura. Perkembangan ini harus diikuti untuk memudahkan pelayanan kepada umat Hindu. “Kita perlu banyak belajar,”katanya.

Sender menyatakan, saling belajar itu penting untuk menimba pengalaman dari berbagai tempat. Bali telah memiliki pengalaman bagaimana mengelola pura di tengah perkembangan pariwisata. Tempat-tempat lain juga memiliki berbagai pengalaman. Pertukaran pengalaman ini sangat baik untuk memperbaiki menejemen tempat suci. (RED-MB)