Suasana kegiatan Seminar  dan Pelatihan Dokter Hewan dalam Penanganan Medik Kejadian Mamalia Laut Terdampar di  Indonesia, 30 April – 3 Mei 2018 di Denpasar.
Denpasar, Bali (Metrobali.com)-
Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia di bawah naungan  Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan  Perikanan (KKP) baru-baru ini diinisiasi melalui dukungan multipihak lintas sektoral. Disebut juga dengan nama IAM (Indonesia Aquatic Megafauna) Flying Vet, asosiasi ini mewadahi dokter hewan  di seluruh Indonesia dengan minat dan dedikasi untuk kelestarian ekosistem laut, melalui
pengelolaan megafauna aquatik. Baik itu pencegahan kejadian terdampat, juga penanganan mamalia  laut sakit dan/atau terdampar baik hidup ataupun mati, yang terjadi di berbagai wilayah pesisir  Indonesia.
Diinisiasi secara kolaboratif oleh WWF-Indonesia, Yayasan Cetacean Sirenian Indonesia (Cetasi),  Kementerian Kelautatan dan Perikanan (KKP) bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), IAM Flying Vet Indonesia diluncurkan pada 3 Mei 2018, dalam rangkaian kegiatan Seminar  dan Pelatihan Dokter Hewan dalam Penanganan Medik Kejadian Mamalia Laut Terdampar di  Indonesia, 30 April – 3 Mei 2018 di Denpasar.
Megafauna akuatik, yang berasal dari golongan reptilia (penyu), elasmobranch (hiu dan pari) serta  mamalia laut (duyung, paus, dan lumba-lumba), merupakan kelompok satwa yang rentan akibat  tekanan terhadap populasinya yang kian meningkat. Berbagai pendekatan konservasi megafauna  akuatik Indonesia telah dilakukan oleh para pihak, mulai dari penetapan perlindungan jenis,  pengelolaan habitat termasuk pendekatan sains, serta peningkatan kapasitas untuk berbagai  keterampilan khusus yang diperlukan dalam pengelolaan.
IAM Flying Vet dibentuk sebagai respon terhadap kondisi meningkatnya kejadian megafauna laut  terdampar. Adapun titik-titik utama kejadian terdampar di berbagai wilayah Indonesia yang dicatat dalam satu dekade terakhir yakni, Kalimantan Timur (107 kasus), Bali (57 kasus), Aceh (25 kasus),  Nusa Tenggara Timur (22 kasus), dan Papua (19 kasus) (Whale Stranding Indonesia, 2018).
“Fenomena ini membutuhkan bantuan dokter hewan untuk bergerak cepat, tanggap, legal dan  kompeten, untuk melakukan penanganan medis di lokasi kejadian meskipun berada di area terpencil,” ungkap Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator, WWF-Indonesia.
“Dokter hewan yang memiliki kompetensi di bidang megafauna akuatik sangat dibutuhkan untuk  membantu pemerintah dalam menangani kejadian terdampar. Baik untuk pertolongan hidup,  penanganan penyakit, investigasi kematian (veterinary forensic), serta meminimalisir dampak  negatif kejadian terdampar bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar,” lanjutnya.
“Dokter hewan Indonesia terus meningkatkan kompetensinya dalam melakukan diagnosis, merawat,  dan melakukan penyelidikan post-mortem pada megafauna akuatik terutama pada kejadian terdampar. Penting bagi kita untuk mendalami investigasi kematian dan mengungkap penyebab kejadian mamalia terdampar, untuk membuat rekomendasi pengelolaan kejadian mamalia laut  terdampar ke depannya,” tambah Dr. Heru Setijanto, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).
“Kejadian mamalia laut terdampar tidak bisa diprediksi waktunya sehingga dibutuhkan kesiapan,kemampuan, dan kerjasama antar stakeholders dan masyarakat dalam melakukan penanganan di lapangan – yaitu melalui IAM Flying Vet ini,” kata Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.
“Seminar dan Pelatihan Dokter Hewan dalam Penanganan Medik Kejadian Mamalia Laut adalah langkah IAM Flying Vet untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dokter hewan,” ungkap Drh. Ida Ayu Dian Kusuma Dewi, MVSc, Koordinator Umum IAM Flying Vet Indonesia. Seminar dan Pelatihan Dokter Hewan dalam Penanganan Medik Kejadian Mamalia Laut Terdampar di Indonesia dihadiri oleh 19 dokter hewan yang aktif pada beberapa kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia.
Mereka berasal dari Aceh, Bangka Belitung, Yogyakarta, Pontianak, Papua Barat, Bali, Jember, dan Jakarta, mewakili berbagai instansi seperti BPSPL Denpasar, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh, Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Karantina Pertanian Bangka Belitung dan Papua Barat, Dinas Pertanian dan Peternakan Jember, Universitas Udayana, Universitas Muhamadiyah Pontianak, WWF-Indonesia, Coral Reef Alliance, dan Klinik Hewan.
Editor : Hana Sutiawati