IAI Bali Ungkap Maraknya Arsitek Asing Ilegal di Pulau Dewata
Ketua IAI Bali I Wayan Agus Novi Darmawan
Denpasar, (Metrobali.com)-
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Bali, I Wayan Agus Novi Darmawan, mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin tergerusnya arsitektur khas Bali oleh maraknya bangunan yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang arsitektur Bali.
Hal ini diduga kuat disebabkan oleh masuknya arsitek asing yang bekerja secara tidak sah di Bali. Mereka disebut-sebut tidak datang sebagai turis, melainkan berkedok penanaman modal asing (PMA) untuk membuka lapangan pekerjaan di bidang arsitektur.
“Permintaan untuk pembuatan kaput gambar rumah dan lain-lainnya kalau teman-teman dari asosiasi secara pekerjaan masih tetap pak artinya ada memang banyak teman-teman yang dapat pekerjaan ada cuman masih seperti tahun-tahun kemarin itu jadi kita sekarang itu masih apa namanya ada ada kompetitor begitu ada teman-teman yang dari luar yang kita tidak ketahui apakah mereka memang benar-benar arsitek atau mereka disini mengagung-agung sebagai arsitek begitu.”
Menurut Agus, pihaknya pernah mempertanyakan legalitas para arsitek asing kepada Dinas Tenaga Kerja, dan hanya terdapat sekitar 4 perusahaan konsultan arsitek asing yang terdaftar. Namun, di lapangan ditemukan lebih banyak aktivitas arsitek asing yang tidak terdata.
“Teman-teman dari Dewan Arsitek Indonesia melalui Komite Pengawasan dan Pengaduan Arsitek juga sudah bersurat kepada teman-teman yang diduga prakteknya tidak legal… banyak sekarang arsitek dari luar itu sudah berani dia bilang bahwa kami arsitektur baik di Bali segala macam padahal mereka tuh belum tentu seorang arsitek.”
Agus menyoroti bahwa bangunan-bangunan yang dihasilkan oleh arsitek asing seringkali tidak mencerminkan nilai-nilai arsitektur tradisional Bali. Ia mencontohkan penggunaan kaca dan atap LED yang tidak sesuai dengan iklim tropis Indonesia, serta desain yang tidak mewakili karakteristik lokal.
“Jadi balinya itu sudah jauh bahkan bahkan bukan hanya tidak mencerminkan Bali bahkan mencerminkan di Asia pun bukan… itu bukan bangunan tropis yang memang tidak cocok ada di Indonesia tapi dipaksakan.”
Ia juga menambahkan bahwa para arsitek asing ini kerap memanfaatkan media sosial seperti Instagram untuk memasarkan jasa mereka secara terang-terangan dalam bahasa asing, menyasar klien dari negara asal mereka.
“Contoh ada saya ambil kasus ada konsultan Rusia begitu… jadi mereka itu itu seperti tadi yang menjadi ancaman mereka bukan hanya disini sebagai turis gitu tetapi mereka ikut mengambil lapangan pekerjaan kami salah satunya sebagai arsitek itu.”
Agus berharap pemerintah lebih tegas dalam menegakkan aturan, termasuk memverifikasi legalitas para pelaku usaha asing di sektor arsitektur, demi menjaga kelestarian identitas visual dan budaya Bali.
“Jadi saya pribadi kan berharap bahwa Bali ini sudah punya identitas yang sangat kuat ya… identitas Bali ini yang mereka labrak.”
Ia menegaskan pentingnya penegakan Perda dan pemahaman terhadap lisensi arsitektur lokal agar arsitektur Bali tetap menjadi cerminan dari kearifan lokal dan kebanggaan budaya masyarakatnya.
(jurnalis : Tri Widiyanti)