Keterangan foto: Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anthony Leong/MB

Denpasar (Metrobali.com) –

Layanan digital over the top (OTT) atau tayangan berbasis internet dinilai harus tunduk pada Undang-Undang Penyiaran. Mengingat, layanan OTT telah menjadi bisnis model baru di industri penyiaran, sehingga harus ada yang mengatur dan mengawasinya khususnya pada konten yang ditayangkan.

Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anthony Leong mendukung jika area UU Penyiaran dilakukan perbaikan sehingga turut mencakup media baru seperti platform siaran streaming ataupun penyiaran berbasis internet. Salah satu alasannya adalah agar pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap konten atau informasi yang beredar lewat platform tersebut.

“Televisi streaming seperti Netflix, GoPlay, Viu selama ini begitu bebas menayangkan konten atau film tanpa ada yg mengawasi. Sementara itu, pada televisi konvensional atau juga disebut televisi Free To Air (FTA) sangat diatur kontennya melalui P3SPS (Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran) yg diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sangat dirasakan tidak adanya Equal Playing Field antara OTT dengan FTA tersebut. Ini tidak fair karena adanya aturan untuk penyelenggara konvensional dan tanpa aturan untuk penyiaran streaming. Disamping itu juga, OTT asing yang banyak beredar dinegara kita, banyak mendapatkan penghasilan dari iklan tapi tidak bisa dikenakan pajak,” kata Anthony kepada Metrobali.com, Jum’at (3/7/2020).

Pakar komunikasi digital tersebut menambahkan bahwa langkah pengawasan penyiaran pada platform online sudah terlebih dulu dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Turki dan Singapura. Alasannya kontrol tersebut adalah sebagai upaya penegakan hukum, keamanan nasional, hingga moralitas.

“Media itu agen sosialisasi, entah media cetak atau media sosial, offline maupun online. Semua sama-sama dapat membentuk dan menggiring opini masyarakat. Fungsi pengawasan sebenarnya lebih ke arah untuk menjaga keamanan nasional, bukan sekedar sensor kepantasan pada konten dengan kategori dewasa yang berbau pornografi. Perlu segera dipastikan siapa yang akan mengawasi ke depan juga,” lanjutnya.

Anthony yang juga CEO Menara Digital Enterprise ini menjelaskan, bila perlu bisa dilakukan harmonisasi antara Netflix dan Youtube dengan televisi FTA dan kreator konten nasional seperti yang dilakukan di Australia. Pemerintah Negeri Kanguru meminta Netflix dan YouTube untuk menayangkan konten lokal dan meminta mereka bergabung dengan televisi bebas bayar.

“Dengan mengadopsi kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Australia, akan tercipta keadilan dalam industri penyiaran (Equal Playing Field). Prinsipnya perlu didefinisikan details makna penyiran. Dan menurut saya penyiaran kepada masyarakat dalam bentuk apapun perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan dengan regulasi yang sinkron,” katanya.

Stasiun televisi RCTI dan iNews mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan definisi Penyiaran pada UU Penyiaran yang sudah ada. Keduanya mendorong agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) dilakukan pengawasan terhadap isi siaran mereka. Tidak hanya kepada OTT asing tapi hal seperti itu berlaku juga pada OTT lokal/nasional.

Kedua stasiun televisi tersebut khawatir bakal muncul konten-konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila lewat layanan perusahaan over the top (OTT). Gugatan ini terungkap dalam permohonan judicial review di situs MK. (hd)