Oleh : Gde Sudibya
Berdasarkan data yang dilansir Satgas Penanggulangan Pandemi Covid-19 provinsi Bali, terjadi kasus penularan tinggi di awal bulan Desember: 2 , 3 dan 4 Desember 2020: 202 kasus, 230 kasus dan 122 kasus. Kasus positif di atas 200, merupakan kasus tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sedangkan rata-rata kasus per hari selama bulan Oktober 2020: 93 kasus dan bulan November sampai dengan tanggal 29 November 2020: 75 kasus.
Trend curve harian di Bali sejak Maret 2020 menaik dan atau fluktuatif di tingkatan kasus yang tinggi. Data time series ini, semestinya merupakan wake up call, peringatan bagi Tim Penanggulan untuk mengevaluasi strategi kebijakan penanggulanngan pandemi yang sudah 10 bulan dijalankan.
Menurut pemodelan yang dibuat oleh FKM UI yang didukung Bappenas, diperkirakan puncak pandemi di Indonesia pada triwulan pertama tahun 2021, yang kemudian terus menurun, dan di awal tahun 2022 curvenya akan melandai.
Berangkat dari pemodelan ini, tahun depan 2021 pada triwulan pertama, tantangan pandemi Covid-19 luar biasa besar, demikian juga untuk tiga triwulan berikutnya, tetapi diperkirakan dengan jumlah kasus yang terus menurun.
Pemodelan ini, agaknya dengan asumsi gelombang ke dua tidak terjadi. Padahal berdasarkan fakta di beberapa negara Eropa, terjadi gelombang ke dua dengan jumlah kasus lebih banyak, angka korban kematian lebih tinggi, dan kebijakan lock down ( penguncian wilayah )  kembali berlangsung.
Dalam kasus di Italia, kebijakan lock down mendapat penolakan dari sejumlah pelaku UMKM dengan alasan: akan menurunkan omzet penjualan mereka, dalam kondisi keuangan mereka yang sudah sangat sulit.
Menyimak proyeksi pemodelan  dan   ulasan sederhana di atas, dalam konteks Bali ada dua risiko yang seharusnya  dikelola lebih baik: pertama  risiko pandemi, yang targetnya menekan penularan, meminimalkan korban kematian, efektivitas biaya ( cost effectiveness ) dalam pengelolaan anggaran.
Kedua, kecermatan dalam pengelolaan program pemulihan ekonomi, dengan target sasaran: pemulihan yang tepat waktu, meminimalkan kebangkrutan usaha, kesiapan dalam merespons paradigma baru pariwisata pasca pandemi.
Dari perspektif strategi manajemen, semestinya dilakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang  selama 10 bulan ini telah dijalankan, pada sejumlah isu strategis:
a. Dari kebijakan yang kesannya reaktif ( post factum, bereaksi setelah kasus ),  ke kebijakan antisipatif melalui pengelolaan isu-isu strategis.
b. Rumusan kebijakan antisipatif yang lebih komprehensif: bauran antara 3 M ( Memakai masker, Mencuci Tangan, Menjaga jarak ), yang pada dasarnya adalah kebijakan preventif dengan 3 T ( Tracing,  Testing dan Treatment ), kombinasi dari kebijakan kuratif dan preventif ( mempecepat deteksi dan menekan penularan ). Tegasnya: bauran kebijakan 3 M dan 3 T, yang didukung oleh kepemimpinan yang tepat, sumber daya dan komitment semua pihak. Bahasa kerennya: leadership, resourcess dan social comitment.
c. Kebijakan yang diharapkan  cerdas pada butir b.di atas, dari perspektif manajemen dan efektivitas organisasi, sangat mempersyaratkan: 1. Penyusunan anggaran 3 M dan 3 T, dengan ketat dan target terukur beserta transparansinya.
2. Peningkatan: komunikasi, koordinasi dan sinergi dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten, pemerintah kota untuk ” meruntuhkan ” ego sektoral, vested interest ( kepentingan bercokol ) dan hambatan-hambatan lainnya.
3. Dibangun kesadaran baru bersama: pandemi Covid-19 adalah ” musuh ” bersama yang harus diperangi bersama, dengan sikap jengah, paras-paros dan gotong royong sehingga “aab jagat”, ” gering gumi ” segera ” metilar ” ring sawewengkon jagat Bali Dwipa.
4 Dengan Yasa Kerthi ( kebijakan dan langkah cerdas, dibarengi dengan  laku dan ” pinunas ”  tulus ” melarapan antuk bhakti, kita boleh berharap, masa sulit di tahun 2021 yang akan datang dapat dilalui dengan baik.
I Gde Sudibya, pengamat kebijakan publik.