HAMPIR setiap tahun pemerintah mengonstruksi kreativitas berkesenian
masyarakat dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB). Sebagai media
publik bagi pementasan karya seni keatif unggulan dari para seniman
Bali di setiap kabupaten.kota se-Bali. Demi upaya peningkatan
pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali secara berkesinambungan.
Ruang apresiasi seni budaya yang dikonstruksi dalam Pesta Kesenian
Bali (PKB) tahun ini telah memasuki usia ke-34 tahun. Beragam gugusan
ide kreatif seni berbasis kearifan budaya lokal khas Bali selalu
disajikan dalam konstruksi PKB selama ini. Ironisnya, bersandar pada
kenyataan semangat kreativitas seni budaya dari para seniman Bali
dalam konstruksi PKB hingga sekarang masih terhegemoni kebijakan yang
berorientasi keuntungan (profit) belaka. Bahkan, justru semakin
terkooptasi kepentingan egoisme sektoral berbasis individualisme hasil
konstruksi etnisitas masyarakat dari persekusi kalangan kelompok atau
golongan tertentu dalam ekologi desa pakraman. `
Tak hanya itu, bahkan para elite penguasa sebagai pemimpin acapkali
telah kehilangan hati nuraninya dalam menentukan kebijakan. Mulai dari
tingkat paling bawah di tingkat desa pekraman hingga birokrasi
pemerintah baik daerah maupun pusat. Celakanya, kebijakan itu
seringkali tidak mencerminkan keadilan dan bahkan tidak berpihak
kepada kepentingan publik yang lebih luas. Tapi justru hanya berpihak
pada kepentingan persekusi dari kelompok atau golongan tertentu. Ini
artinya perilaku elite penguasa belum mampu independen dan masih
terhegemoni kepentingan kelompok tertentu.
Persoalannya realitas sosial itu tanpa sadar kini telah mengonstruksi
lahirnya budaya premanisme berbasis otonomi daerah di tengah birokrasi
desa pakraman. Akibatnya otonomi budaya dalam konstruksi PKB selama
ini semakin kehilangan ruh dan taksunya. Tak pelak, para seniman Bali
pun semakin merasa termarjinalisasi dalam ruang apresiasi kreativitas
seninya di depan publik tersebut. Di samping itu, filsafat kehidupan
dalam konteks sastra dari ajaran Hindu yang menjiwai denyut nadi
kehidupan kreativitas seni budaya dalam konstruksi PKB selama ini
dicap gagal menjadi informasi publik yang mencerdaskan dan
menyejahterakan bagi kepentingan masyarakat secara lebih luas.
Dengan kata lain, konstruksi PKB selama ini belum mampu memenuhi visi
dan misinya secara utuh dan menyeluruh dalam mencetak kepribadian
bangsa yang berkarakter dan berbudaya, serta berbudi luhur di tengah
dinamika kebersamaan dari kehidupan masyarakat multikultur yang
berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, serta UUD’45. Jika
mengikuti jejak pemikiran mendiang Ida Bagus Mantra ruang apresiasi
seni budaya bagi kreativitas para seniman Bali dalam konstruksi PKB
sejatinya memiliki fungsi edukatif yang berorientasi pada pendalaman
sastra dan filsafat kehidupan dalam sentuhan estetika dan moralitas
bangsa atas dasar semangat kebenaran (satyam), kesucian (siwam) dan
keindahan (sundaram).
Bahkan, Jakob Oetama dalam bukunya Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam
Masyarakat Tidak Tulus menyatakan bahwa globalisasi menghasilkan
kecenderungan yang berlawanan arah. Artinya, arah ke luar menjadi
bagian dari masyarakat dunia yang dikuasai oleh ekonomi pasar, arus
informasi, arus teknologi, dan gaya hidup komsumerisme serta tata
nilai global dari budaya Barat. Akibatnya, dalam konteks membangun
perubahan paradigma berpikir publik telah terjadi benturan budaya yang
sangat mencemaskan bagi pembentukan karakter bangsa. Selain itu, dapat
mengaburkan gugusan ide, dan budaya serta kesadaran untuk
menyejahkterakan kehidupan masyarakat khususnya para seniman Bali.
Kini persoalannya, apakah gugusan ide kreatif seni budaya dalam
konstruksi PKB tahun ini mampu mengejawantahkan konteks sastra dan
filsafat maha agung dari Ida Bagus Mantra tersebut dengan semangat
gotong royong dalam konsep ngayah tulus iklas tanpa pamrih.sebagai
wujud bakti dan pengabdian tertinggi terhadap kebudayaan bangsa. Pada
titik pijakan ini, jika mengikuti arah pemikiran dan kebijakan dari
para elite penguasa yang mengonstruksi program kreativitas seni budaya
dalam PKB tahun ini secara teoretis dan konseptual memang telah
berupaya melakukan berbagai terobosan penting untuk menciptakan
perubahan paradigma berpikir dalam menggugah kesadaran masyarakat
terhadap stigma PKB sebagai pasar malam atau pesta dagang.
Langkah konkret ini tentu saja perlu diapresiasi positif sebagai upaya
untuk mengatasi berbagai kendala klasik seperti parkir liar di ruas
jalan dan trotoar, kemacetan, pasar malam, dan lainnya yang telah
menjadi sorotan publik dalam konstruksi PKB selama ini. Terutama
penyebab merosotnya kesadaran masyarakat terhadap penguatan ruh dan
taksu seni budaya Bali sebagai modal utama dari denyut nadi kehidupan
pariwisata bangsa khususnya Bali ke depannya. Hanya saja, berbagai
kajian kritis dari kalangan pers, pengamat, akademisi, praktisi,
budayawan serta tokoh masyarakat justru menemukan sejumlah terobosan
penting dalam konstruksi PKB tahun ini terkesan kontraproduktif
terhadap upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan seni budaya
berbasis kearifan lokal khas Bali di masa mendatang.
Faktanya, bahkan telah terjadi ketakutan yang amat sangat terhadap
upaya melawan intoleransi dan persekusi dari kalangan kelompok atau
golongan tertentu dalam ekologi desa pakraman. Padahal, secara publik
semangat desa pakraman dengan kehidupan masyarakat yang plural dan
multikultur dalam konteks wacana kritis selama ini terkesan sangat
toleran, moderat, dan demokratis, serta ramah tamah dengan semangat
gotong royong yang menjunjung tinggi konsep ngayah tulus iklas tanpa
pamrih. Yang cukup memprihatinkan lagi adalah terjadinya aksi acuh tak
acuh ataupun pembiaran yang berkelanjutan, tanpa pernah ada komitmen
bersama para elite penguasa kebijakan dari instansi terkait dalam
ekologi birokrasi pemerintahan untuk menegakkan amanah kehidupan yang
bersandar pada nilai kebenaran dan kemanusian, serta kebhinekaan yang
jauh dari kalkulasi keuntungan politik ekonomi budaya yang pragmatis.
Jangan sampai ruang apresiasi seni budaya bagi para seniman Bali dalam
konstruksi PKB tahun ini yang mengusung tema Paras Paros: Dinamika
dalam Kebersamaan mengalami nasib tragis seperti anak ayam mati di
lumbung padi. Artinya, euforia kesemarakan seni budaya dalam
konstruksi PKB bukan untuk kepentingan para seniman Bali melainkan
para pedagang yang berorientasi keuntungan (profit) belaka. Padahal,
para seniman Bali dalam konstruksi PKB selama ini justru dituntut
menyajikan karya kreatif seni unggulannya dengan pengorbanan totalitas
yang sangat tinggi dalam konsep ngayah tulus iklas tanpa pamrih.
Sungguh sangat ironis sekali.
Jika realitas ini dibiarkan terjadi dalam konstruksi PKB tahun ini
sudah pasti kesadaran untuk saling berdialog, berpartisipasi, dan
terlibat aktif dalam membangun pondasi kebudayaan bangsa khususnya
Bali sebagai modal sosial bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara
menjadi semakin rapuh, pudar dan runtuh. Dari sinilah, semestinya para
elite penguasa kebijakan termasuk kalangan pers, pengamat, akademisi,
budayawan, tokoh masyarakat berbenah diri dengan menggugah keberanian
dan memperkokoh kembali rasa tanggungjawab, serta meneguhkan kekuatan
moral dan etika sosial dalam membela kepentingan publik sebagai
intelektual yang cerdas, kreatif dan berwibawa. Demi mewujudkan
kehidupan masyarakat yang tertib, disiplin, taat hukum, bersatu,
damai, dan harmonis, serta berbudaya. Semoga konstruksi PKB tahun ini
dapat melahirkan kepribadian yang berbudi luhur dan berbudaya, serta
lebih bermartabat.(*)

Oleh I Nyoman Wija, SE. Ak.*
*)      Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya, yang juga Wartawan dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar