Pengamat kebijakan publik yang juga mantan anggota KPU I Gst Putu Artha

Denpasar, (Metrobali.com)-

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap pemberian insentif Bendesa Adat di Bali telah membebani keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Penganggaran dan realisasi honorarium Bendesa Adat juga dinilia tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional.

“Pembayaran insentif Bendesa Adat yang tumpang tindih membebani keuangan daerah pemerintah provinsi dan atau kabupaten/kota,” kata Ketua BPK Isma Yatun di DPRD Bali, Jumat (19/5/2023).

Menanggapi hal itu, pengamat kebijakan publik yang juga mantan anggota KPU I Gst Putu Artha mengatakan, di metrobali podcast dengan rinci dijelaskan tentang resiko dalam penerimaan insentif dari Gubernur dengan menggunakan APBD.

“Sikap kritis saya dalam sebuah podcast di youtube Metro Bali akhirnya mendapat pembenaran lembaga terkait. Jika begini, siap-siap saja salah sedikit bendesa kita satu per satu masuk bui. Ini yang tak pernah dipikirkan saat negara masuk menganggu otonomi desa adat dengan memperdakan,” kata Putu Artha sambil mengingatkan.

Dikatakan, setelah saya periksa Perpres 33 Tahun 2020 menjadi landasan standar satuan harga regional (satuan harga pemprov dan pemkab/pemkot apabila mengeluarkan anggaran negara berkaitan dengan belanja barang dan jasa). Dalam lampiran 1 dan 2 Perpres hanya ditemukan frasa honorarium bukan insentif (untuk bendesa). Besarannya pun jauh lebih kecil dibandingkan yang diberikan ke bendesa sekarang. Nomenklatur honor untuk bendesa tak ada tercantum jelas.

Lebih lanjut dikatakan, fakta ini bermakna, Pemprov punya niat baik untuk memberi insentif resmi melalui APBD yang diatur dengan Perda. Nah Perdanya sendiri dalam konteks substansi bertentangan dengan UU Desa. Dalam konteks anggaran, potensial melanggar Perpres 33 Tahun 2020.

“Saya mau katakan, rapikan semua regulasi. Jangan sampai niat baik berujung pidana ke bendesa hanya karena Pemprov “gangsaran tindak kuangan daya,” kata mantan anggota KPU Bidang Hukum itu.

Sementara itu, kenurut Ketua BPK Isma Yatun pemberian insentif itu menyebabkan terjadinya pemborosan keuangan daerah. Dimana belanja jasa pada sub kegiatan pembinaan pemerintahan desa adat belum sepenuhnya sesuai ketentuan.

“Selain itu, terdapat resiko penyalahgunaan dana penguatan desa adat atas bukti pengeluaran yang kurang lengkap dan valid. “Dan, ini patut mendapat perhatian,” imbuh Isma Yatun.

Dia meminta DPRD Bali menjalankan fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan untuk mendorong perumusan kebijakan yang lebih akuntabel, ekonomis, efisien dan efektif.

“Dengan begitu keuangan negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Isma Yatun. (Adi Putra)