dewa raka sandi (1)

Denpasar (Metrobali.com)-

Kemacetan lalu lintas dan hiruk pikuk keseharian akan sirna ditelan keheningan saat umat Hindu di Pulau Bali menunaikan ibadah Tapa Brata Penyepian, peralihan Tahun Saka 1935 ke 1936 yang bertepatan dengan Senin, 31 Maret 2014 Masehi.

Suasana lengang jauh dari kebisingan mesin kendaraan bermotor itu biasanya mampu mewujudkan kedamaian, keheningan dan bebas polusi dari kehidupan sehari-hari yang selalu mewarnai kehidupan di Kota Denpasar, Kuta dan sekitarnya.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengimbau umat Hindu untuk tetap menjalani ritual Hari Raya Nyepi seperti biasa, meskipun kini bersamaan dengan musim kampanye Pemilu 2014.

Majelis tertinggi umat Hindu itu telah mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir), tutur Ketua PHDI Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.

Rangkaian upacara pelaksanaan ritual Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan di desa pekraman (desa kala patra), termasuk tradisi di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.

Kegiatan tersebut diawali dengan mengadakan prosesi Melasti/Melis di kawasan pantai yang bermakna membersihkan “pratima” atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu.

Tidak hanya ke pantai, Melasti juga bisa dilakukan ke tepi danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dianggap suci. Ritual ini dilakukan umat pada salah satu dari dua hari yang ditetapkan, yakni Minggu (30/3) dan Senin (31/3).

Umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi Melasti ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau atau ke sumber mata air.

Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual “Melasti” ke sumber mata air terdekat.

Setelah Melasti, menyusul dilakukan”Bhatara Nyejer di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan Tawur Kesanga atau persembahan kurban pada hari Minggu (30/3), sehari menjelang Nyepi.

Tawur Kesanga itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Tawur Kesanga yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan Ngerupuk yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif “bhutakala” yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.

Keesokan harinya, Senin (31/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1936 dengan melaksanakan Catur Brata penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.

Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).

Pelaksanaan Catur Brata penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, tutur Ngurah Sudiana.

Pelaksanaan ritual Nyepi di tengah pelaksanaan Pesta Demokrasi, karena Pemilu Legislatif akan digelar 9 Maret 2014 diharapkan mampu memelihara dan menjaga kerukunan antarumat beragama yang selama ini sangat kokoh dan mantap.

Tetap kondusif Kegiatan ritual Tapa Brata Penyepian dapat terlaksana dengan baik, sekaligus kampanye tahapan Pemilu juga dapat terlaksana dengan semua pihak mengedepankan keamanan, kenyamanan dan kekondusifan wilayah Bali.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengharapkan masyarakat dan semua pihak tetap menjaga keamanan, karena pemilu merupakan peristiwa penting dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Air.

Tahun 2014 merupakan tahun politik yang menjadi momentum penting dalam kehidupan bernegara sehingga keamanan dan kondusivitas Pulau Dewata harus tetap terpelihara.

Dengan kearifan lokal yakni semangat “menyama braya” (persaudaraan) bisa dijadikan kekuatan dalam menyukseskan pelaksanaan tahun politik.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bali I Ketut Rudia mengatakan, pihaknya tetap melakukan pengawasan kampanye terhadap partai politik berkaitan hari suci Nyepi tersebut.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali telah mengusulkan kepada KPU pusat untuk meniadakan kampanye terbuka bagi seluruh partai politik selama lima hari terkait Nyepi.

Pengawasan itu sangat penting, meskipun tidak dilakukan secara terbuka, mengingat tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai pelanggaran, termasuk praktik politik uang.

Peniadaan jadwal kampanye terbuka itu meliputi 28, 29, 30, 31 Maret dan 1 April 2014. Meskipun demikian parpol maupun caleg tidak akan begitu rugi kehilangan waktu karena sesungguhnya waktu bersosialisasi mereka pada masyarakat sudah panjang.

“Kampanye terbuka itu hanya bagian untuk membuktikan para caleg punya massa,” ujar I Ketut Rudia.

Peniadaan kampanye itu untuk menghormati budaya lokal, karena momentum Hari Suci Nyepi sangat tepat untuk melakukan introspeksi diri dan menjernihkan pikiran dari berbagai tugas dan tanggung jawab yang diemban selama ini.

Ketua KPU Provinsi Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, usulan meniadakan kampanye berkaitan dengan Nyepi itu kemungkinan akan diakomodir dengan menggeser beberapa jadwal kampanye di Pulau Dewata.

Hal itu tetap memperhatikan unsur keadilan, kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk berkampanye bagi peserta partai politik dan calon anggota DPD-RI.

Sesuai dengan Peraturan KPU telah ditetapkan jadwal kampanye terbuka atau rapat umum secara nasional selama 21 hari yakni dari 16 Maret-5 April 2014.

“Pada prinsipnya kami ingin menyinergikan antara kampanye rapat umum dengan perayaan Nyepi. Sebagai umat Hindu tentu kita harus menghormati hari suci agama sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik,” tutur Raka Sandi. AN-MB