Tangkapan layar di Media Sosial anak siswa sedang menikmati minuman arak.

Denpasar, (Metrobali.com)-

Semestinya Pergub tentang arak dilihat dalam konteks distribusi arak untuk keperluan upakara bhuta jajna. Kalau Pergub mengatur Miras berkaitan dengan perdagangannya dan bahkan untuk komoditas ekspor, bisa ditafsirkan bertentangan dengan Perpres di atas.

Hal tersebut dikatakan mantan anggota  MPR RI yang juga pengamat sosial dan politik Jro Gde Sudibya, Rabu (1/2/2023).

Dikatakan sebagai DTW, Bali memerlukan miras bagi tamu, sudah tentu harus mengikuti ketentuan aturan yang berlaku dalam: pemasaran, distribusi dan pengawasannya. Untuk menghindarkan terjadinya distribusi yang tidak terkontrol, yang akan merugikan masyarakat.

“Dengan ditetapkannya hari arak Bali, bisa timbul persepsi pada sebagian publik, bahwa konsumsi miras itu dibebaskan dan bahkan “disetujui” negara. Ini persepsi publik yang berbahaya, yang bisa meningkatkan konsumsi miras termasuk di kalangan pelajar dan remaja,” kata Gde Sudibya seraya menambahkan dampak luasnya ini sangat dikhawatirkan yang akan merusak generasi penerus.

Tentang berita Presiden mencabut lampiran Perpres No.10/2021 tentang Miras, menurut Gde Sudibya dapat diberikan catatan sbb:

Pertama, memaksukkan Miras tetap dalam daftar negatif investasi (negative list invesment), berarti pemerintah melarang investasi Miras, jadi ada kebijakan nasional yang keras terhadap Miras, produksi dan peredarannya.

Kedua, diberikannya ketentuan khusus untuk Bali, semestinya dipahami sebatas produksi dan distribusi Miras untuk keperluan upakara, dalam hal ini untuk upakara Bhuta Jajna. Upakara penting dalam Agama Hindu yang bermakna menjaga keselarasan hubungan manusia dengan alam dan dengan Bhuta Kala. Upakara ini menjadi semakin penting, dalam kecendrungan sebagian manusia turun kualitasnya setingkat Bhuta dan bahkan setingkat Raksasa. Upakara Butha Jajna dipercaya dapat meminimalkan kecendrungan destruktif tsb.
Jadi miras, tidak untuk dikonsumsi manusia, yang bisa membuat mereka mabuk dan turun “derajatnya” sebagai butha dan bahkan dengan karakter raksasa.

Ketiga, jadi kebijakan Gubernur Wyn.Koster, mempromosikan arak secara berkelebihan, apa lagi dengan iming-iming ekspor, adalah kebijakan yang tidak etis melanggar etika publik. Karena dalam sejarahnya konsumsi arak membuat sebagian warga mabuk, dan kemudian menjadi pangkal penyebab kemiskinan yang berkepanjangan, bahkan lintas generasi.

Keempat, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani/pengrajin arak kita dukung penuh, diperlukan kebjakan yang lebih cerdas untuk memberdayakan perekonomian mereka, tidak mesti melalui produksi arak. Staf Gubernur semestinya bisa menyiapkan model pemberdayaan ekonomi buat mereka, dengan pilihan produk yang lebih baik, produktifitas lebih tinggi dan biaya sosial lebih rendah.

Dikatakan, petani Bali pada umumnya adalah orang-orang yang sangat ulet, dengan kemudahan yang disiapkan pemerintah melalui kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat, mereka bisa bangkit, dan keluar dari derita kemiskinan berkepan jangan dan tanpa ada lagi risiko untuk kembali “memunyah” dan “punyah”.
Kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat yang lebih manusiawi, memperbaiki taraf hidup dan secara bersamaan menghilangkan penyakit sosial.

“Pemda Bali dan Pemda Kapupaten dan Kodya, semestinya sanggup menyusun program pemberdayaan eknomi rakyat yang lebih manusiawi. Literatur studi pembangunan menyebutnya: human approach to empower lag behind society, pendekatan kebijakan untuk.memberdayakan bagian masyarakat yang jauh tertinggal secara ekonomi,” katanya. (SUT-MB)