Harga Cengkeh Turun Tajam di Masa Panen Raya. Dimana Peran Pemerintah?
Buleleng, (Metrobali.com)-
Panen Raya Cengkeh di Bali sudah tidak berlangsung dalam lima tahun terakhir, sekarang tampaknya panen raya, yang ditunggu-tunggu petani Cengkeh, pekerja, pedagang yang memperoleh manfaat ekonomi dari “boom” produksi Cengkeh.
“Tetapi ironisnya, harga lukratif selama enam bulan terakhir Rp.120 ribu/kg.kering, turun tajam ke tingkat Rp.85 ribu,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Senin 22 Juli 2024.
Dikatakan, fenomena umum dalam produksi dan perdagangan Cengkeh dan komoditas pertanian lainnya, pada saat panen raya, pasokan bertambah banyak, sedangkan permintaan tetap, yang mengerek harga turun ke bawah.
“Sehingga hukum permintaan dan penawaran berlaku, dalam bahasa para ekonom -the law of supply and demand relation-, berlaku,” katanya.
Menurutnya, dalam cara berpikir kapitalistik, hubungan sempurna penawaran permintaan kemudian terefleksikan dalam tingkat harga, sah-sah saja. Tetapi karena sistem ekonomi kita oleh “the founding fathers” adalah sosialistik, Re.pasal 33 UUD 1945 dan pasal 35: “Fakir Miskin dan anak-anak Terlantar Dipelihara negara”, sudah semestinya para petani yang punya posisi tawar rendah berhadapan dengan pedagang dan pengusaha besar seharusnya memperoleh proteksi.
Ambil contoh dalam ekonomi distribusi Cengkeh, struktur pacarnya OLIGOPSONI, pembeli hanya beberapa yang merupakan usaha konglomerasi raksasa, menyebut beberapa: Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan sejumlah pabrikan lain dengan skala lebih kecil. Berhadapan dengan ratusan ribu pedang kecil dan jutaan petani Cengkeh.
Dikatakan, hubungan dagang tidak seimbang, akibatnya jutaan petani sering menjadi “pelengkap penderita”. Hubungan ekonomi eksploitasi, di tengah aturan konstitusi yang mengatur ekonomi negeri secara sosialistik.
Timbul pertanyaan yang nyaris klasik, dimana peran pemerintah melindungi jutaan para petani dalam hubungan eksploitasi ini.
Dikatakan, tampaknya negara absen, dan lebih fokus kepada proyek ambisius infrastruktur, yang telah melahirkan hutang Rp.3,500 T dalam 10 tahun terakhir, dan lebih banyak “ngurusi” tambang dan industri sawit yang dimiliki belasan perusahaan.
Seharusnya, lanjut Gde Sudibya negara mestinya hadir dalam menjaga stabilisasi harga produk pertanian, untuk melindungi petani, dengan menyediakan dana penyangga, untuk tujuan stabilitas harga produk pertanian, oleh BUMN Niaga yang ditugaskan untuk itu. Timbul pertanyaan, dari mana sumber pendanaan untuk stabilitas harga komoditas pertanian ini?
Jika pemerintah konsisten dalam kebijakan fiskalnya, “windsfall profit” dari sektor pertambangan batu bara tahun 2022 sebesar Rp.1,000 T, semestinya dipungut pajaknya minimal 10 persen, sehingga terkumpul dana Rp.100 T, bukan diberikan pembebasan pajak tax exemption.
Dikatakan, ekspor Nikel dalam tiga tahun terakhir sekitar 5,6 juta ke China, jika dikenakan pajak ekspor akan diperkirakan terkumpul dana yang juga ratusan triliun rupiah.
Demikian pula pajak di industri sawit, yang tingkat efektivitas pemungutan pajaknya baru sekitar 50 persen, yang berarti ada potensi penerimaan negara yang jumlahnya super jumbo yang belum dipungut.
Menurutnys, Law enforment di sektor perpajakan bagi konglomerasi begitu penting, berbarengan dengan pembenahan serius dalam ekonomi politik komoditas pertanian, menjadi begitu penting, untuk menghindarkan terjadinya tamsil bagi para petani: “Ayam mati di lumbung padi”. (SUT-MB)