nelayan1

Jakarta (Metrobali.com)-

Untuk negara kepulauan yang memiliki luas kawasan perairan yang sangat luas seperti Indonesia, disayangkan kesejahteraan yang kurang masih kerap mendera masyarakat nelayan yang hidup di pesisir.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan pemerintah mendatang dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan nelayan tradisional serta bisa mengangkat tingkat penghasilan masyarakat pesisir di berbagai daerah di Tanah Air.

“Presiden terpilih untuk mempertimbangkan atau tidak mengulang kesalahan persoalan mendasar kelautan dan akar kemiskinan nelayan,” kata Ketua Dewan Pembina KNTI Riza Damanik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (18/7).

Menurut Riza, dengan menanggulangi persoalan kelautan dan akar kemiskinan nelayan, hal itu merupakan langkah awal yang diyakini akan membawa Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat ke depannya.

Selain itu, ujar dia, presiden terpilih juga diminta untuk berkomitmen melaksanakan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil (International Guidelines on Small Scale Fisheries/IGSSF).

“Instrumen ini adalah panduan perlindungan nelayan yang pertama di dunia dan baru saja disahkan 10 Juni 2014 pada Sidang ke 31 Komisi Perikanan Dunia, Organisasi Pangan Dunia (FAO),” katanya.

Ia menjelaskan instrumen itu, antara lain mengatur pembaruan agraria kelautan, kelayakan lingkungan kerja bagi nelayan, rantai dagang berkeadilan, peran strategis perempuan nelayan pada hulu-hilir perikanan, minimalisasi dampak buruk perubahan iklim, serta dukungan implementasi dan pemantauan VGSSF untuk masing-masing negara.

Sebelumnya, KNTI mensyukuri dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 isu terkait dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk para nelayan, terasa mendominasi persaingan antarkandidat.

“Dalam sejarah panjang pemilu, baru kali ini ada perbincangan soal laut dan kesejahteraan nelayan begitu mendominasi,” kata Riza Damanik.

Menurut Riza, indikasi tersebut dapat dilihat dengan adanya komitmen besar dari kedua calon, antara lain untuk memberantas pencurian ikan, menyediakan “cold storage” (gudang pendingin), bantuan perbaikan kapal, bank khusus bagi nelayan, dan tol laut.

Pemberdayaan nelayan tradisional juga dinilai perlu menjadi prioritas pembangunan nasional karena selama ini masih terpinggirkan dalam arus utama perencanaan pembangunan di Tanah Air.

“Pemberdayaan nelayan, termasuk petambak, memang harus dimulai setelah sekian lama tidak mendapat prioritas dalam pembangunan nasional,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan, Kamis (19/6).

Alan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100.000 kilometer persegi. Namun, dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional, total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, ujar dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI. Namun, total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air.

Ia juga mengingatkan, dengan adanya pertambahan penduduk dunia, kebutuhan makanan laut khususnya ikan segar akan mengalami kenaikan besar hingga 45 persen per tahun. Akan tetapi, pangsa pasar Indonesia masih 3,57 persen.

Perizinan Sulit Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan masih banyak nelayan yang mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan untuk melaut, padahal hal tersebut penting untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka.

“Hingga hari ini nelayan masih mengalami kesulitan ketika mengurus perizinan melaut,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim.

Menurut Abdul Halim, birokrasi yang berbelit dan minimnya pengetahuan nelayan tradisional Indonesia dalam mengurus izin membuat nelayan menjadi rentan dikriminalisasi.

Hal itu, ujar dia, secara langsung berdampak bagi kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia dan mengakibatkan kemiskinan semakin merajalela di kampung nelayan di berbagai daerah di Tanah Air.

Ia menilai bahwa sampai masa anggota DPR periode 2009–2014 akan berakhir belum ada upaya konkret untuk memberikan payung hukum bagi perlindungan dan pemberdayaan nelayan Indonesia.

“Nelayan masih dianggap masyarakat kelas dua, padahal kontribusi mereka dalam pemenuhan gizi bangsa bisa dirasakan setiap hari di piring-piring masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Terkait dengan kondisi pasca-Pilpres 2014, KNTI menyerukan kepada seluruh masyarakat nelayan di Tanah Air untuk memperkuat silaturahmi setelah Pilpres 2014 yang telah berlangsung dengan lancar.

“KNTI menyerukan seluruh nelayan, petambak, dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk memperkuat kembali silaturahmi, persatuan dan kesatuan, pasca-Pilpres 2014,” kata Ketua Dewan Pembina KNTI M. Riza Damanik dalam rilisnya, Jumat.

Riza mengingatkan bahwa dalam Pilpres ini pada akhirnya tidak ada kalah atau menang karena pemenang sesungguhnya adalah rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Keberpihakan Nelayan Pesan untuk presiden mendatang, Ketua Dewan Pembina KNTI mengemukakan bahwa dia harus memperkuat persatuan serta memenuhi komitmennya dalam memperbesar perhatian dan keberpihakan terhadap sektor kelautan dan perikanan, khususnya dalam rangka menyejahterakan nelayan dan petambak Indonesia.

“Presiden terpilih harus dapat menjadi pengayom dan mendorong tumbuh kembangnya organisasi nelayan dan petambak yang kuat di Indonesia. Inilah modal Indonesia kelak menjadi negara berdaulat, mandiri, dan sejahtera,” katanya.

Ia juga mengutarakan rasa syukurnya ke hadirat Allah SWT karena Indonesia berhasil melewati pesta demokrasi Pilpres 9 Juli 2014 berlangsung dengan partisipasi publik yang meningkat, damai, dan terbilang sukses.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan berbagai anak bangsa dapat merajut kembali ikatan persaudaraan yang sempat terganggu setelah penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014.

“Dalam suasana kehidupan politik pasca-Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, kita berkewajiban untuk merajut kembali ikatan kita sebagai sebuah bangsa yang bersatu, yang beberapa saat lalu pernah terganggu,” kata Presiden Yudhoyono dalam acara peringatan Nuzulul Quran 1435 Hijriah di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/7).

Menurut Presiden, bangsa Indonesia diwajibkan untuk kembali menguatkan ikatan yang kukuh dan menjalin hubungan kembali yang harmonis di antara kelompok yang berbeda pilihan.

Untuk itu, ujar dia, harus dihentikan permusuhan sekaligus menjauhkan diri dari fitnah dan sikap berburuk sangka kepada sesama anak bangsa.

Dengan adanya persatuan dan ikatan yang kukuh, berbagai elemen bangsa di negara maritim seperti Indonesia ini diharapkan juga dapat bersama-sama mengangkat derajat kesejahteraan nelayan tradisional dan anggota keluarganya. AN-MB