Buleleng, (Metrobali.com)

Adakah solusi untuk memperbaiki LPD yang macet? Sebagaimana kita ketahui sebagian besar LPD yang macet dikarenakan oleh pengurusnya tersangkut permasalahan hukum (TP. Korupsi). Saat sebuah LPD diperiksa oleh Penyidik, maka kebanyakan LPD tersebut tidak lagi beroperasi, dengan alasan masih dalam tahap pemeriksaan/Penyidikan.

Alasan klasik tersebut terkadang digunakan Pengurus LPD sebagai bentuk upaya pembelaan diri (padahal upaya Penyidikan oleh APH tidak menghentikan bisnis proses LPD) dari tuntutan para nasabah yang menginginkan dana tabungan/deposito mereka cepat kembali, walaupun sebenarnya LPD tidak mampu mengembalikan disebabkan tata Kelola penyaluran kredit banyak bermasalah (macet) oleh karena mengabaikan prinsip kehari-hatian dalam penyaluran kredit.

Salah satu masalah utama LPD adalah “Kredit”. Penyaluran kredit yang mengabaikan aturan yang seharusnya, menyebabkan potensi kredit macet menjadi “bom waktu” bagi pengelolaan LPD. Terlepas dari banyaknya modus penyaluran kredit (seperti kredit besar tanpa jaminan, kredit melebihi pagu yang ditentukan atau kredit kepada orang yang telah terblacklist perbankan), semuanya berpotensi besar menimbulkan “kredit macet”, adakah solusi untuk menyelesaikannya?

Penulis berusaha memahami posisi pengurus LPD (biasanya pengurus baru yang menggantikan pengurus lama) untuk menangani permasalahan seperti ini. Disaat Pengurus LPD sengaja menggunakan uang LPD untuk kepentingan pribadi mereka ataupun menguntungkan orang lain, maka ditarik keranah korupsi (karena lingkup keuangan negara/perekonomian negara). Bagaimana jika, disaat Pengurus LPD membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan masalah kredit macet (akibat kekeliruan pengurus lama atau Debitor yang membandel), kemanakah mereka bersandar? Kemanakan mereka “mesadu” dan mengadu?

Mengadu kepada Bendesa Adat, upaya yang paling pertama dapat dilakukan pengurus LPD, akan tetapi tentu akan menghadapi masalah terkait kredit macet yang nasabahnya orang-orang diluar Desa Adat dan bahkan warga dari luar pulau. Sekalipun Paruman Adat dilakukan berulang kali, tetap saja tidak menemukan solusi terhadap Debitor (macet) dan yang membandel (sengaja tidak mau bayar kredit). Hasil Paruman Adat pasti tetap menekankan agar Pengurus LPD untuk berupaya maksimal lagi dalam menarik kredit macet. Penerapan sanksi adat tentu juga memiliki keterbatasan terhadap warga luar adat karena keberlakuan hukum adat memiliki keterbatasan.
Mengadu kepada LP-LPD, tentu tupoksi LP-LPD hanya sebatas monitoring laporan keuangan LPD, bukan masuk pada teknis penagihan Kredit macet. LP-LPD hanya dapat melakukan pembinaan teknis dan tindakan preventif sebagai bentuk pencegahan penyaluran kredit bermasalah. LP-LPD hanya menyarankan langkah-langkah penagihan yang tentunya menyelaraskan dengan Awig-awig yang menjadi dasar operasional LPD.

Mengadu kepada Dinas terkait, seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Adat (PMA) atau Majelis Desa Adat (MDA), tentu sama ranahnya pada tatanan kebijakkan, tidak masuk pada teknis penagihan. Kalaupun dilakukan koordinasi, tentu arahnya kembali pada Pengurus LPD untuk menagih sesuai SOP penagihan kredit macet.

Siapa yang bisa membantu Pengurus LPD dalam kondisi seperti itu? Menurut penulis, dikarenakan perjanjian kredit antara LPD dengan nasabah merupakan ranah perdata, maka upaya keperdataan tentu yang dapat menyelesaikannya. Kalaupun menggunakan jasa Advocat dalam penyelesaian permasalahan a quo, bisa saja, akan tetapi itu membutuhkan biaya yang akan menjadi tanggungan LPD.

Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan tangan Negara untuk hadir membantu LPD. Jika merujuk pada konsep negara hukum kesejahteraan dimana adanya kewajiban pemerintah untuk melakukan service public yakni penyelengaraan kepentingan umum. Pemerintah diberi kewenangan yang luas untuk melepaskan diri dari hukum formal yang kaku sehingga dapat melakukan aktivitasnya dengan leluasa. Pemberian kewenangan yang luas dan kemudian dikenal dengan ajaran freis ermessen atau pouvoir dicretionare yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai “kemerdekaan Pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial”. Ajaran freis ermessen dapat pula dirumuskan sebagai kewenangan yang sah bagi Pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum (Marbun dan Mahfud, 1998).

Jadi, yang dapat mewakili Negara dalam urusan keperdataan adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN). Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU 11/2021 jo. UU 16/2004 tentang Kejaksaan jo. Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 jo. Perja No. PER-006/A/JA/07/2017, menyebutkan ruang lingkup tugas dan fungsi JPN yaitu: penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lainnya kepada negara atau pemerintah, meliputi lembaga atau badan negara, lembaga atau instansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN atau BUMD di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
JPN selayaknya hadir membantu LPD dalam hal menjaga hak-hak keperdataan masyarakat guna memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum, dan melindungi kepentingan masyarakat luas (dalam hal ini masyarakat Desa Adat). Walaupun sampai saat ini masih ada keraguan, apakah usaha LPD yang dimiliki oleh Desa Adat dapat diwakili oleh JPN, karena batasannya hanya Lembaga Daerah / Badan Usaha Milik Daerah.

Jika kita merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 6/2014 Tentang Desa, maka ruang lingkup Desa adalah “Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain”, artinya Desa Adat diakui kedudukannya dalam sistem pemerintahan NKRI sebagai bagian dari Lembaga/Instansi Pemerintah Daerah. Pada saat Desa Adat memiliki usaha LPD maka layak JPN membantu guna menjaga kemandirian perekonomiam masyarakat adat (Desa Adat),

dalam hal mencari solusi terkait “kredit macet” di LPD, dengan cara memberikan pendampingan hukum (legal assistance) dan mewakili LPD mengambil tindakan keperdataan didalam maupun diluar pengadilan (Psl 30 ayat (2) UU 16/2004).

Untuk keterwakilan LPD oleh JPN dalam hal keperdataan, tentu diperlukan Surat Kuasa Khusus (SKK), yang tentunya diawali dengan Memorandum of Understanding (MOU) antara Pemerintah Daerah dengan Pimpinan Kejaksaan di Bali. Harapannya dengan keterwakilan LPD oleh JPN maka para Debitor nakal berfikir dua kali untuk tidak mengembalikan kredit macetnya di LPD. Terkhusus pada Kredit besar tanpa jaminan minimal JPN dapat memediasi Debitor untuk merestrukturisasi hutangnya dengan memberikan jaminan yang sepadan dengan kredit yang telah mereka terima.

Terlepas dari kekhususan LPD yang tidak tunduk pada UU 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (pasal 39 ayat (3)), sedikit tidaknya LPD masih mendapatkan perlindungan dan perhatian dari negara.

Upaya ini adalah salah satu konsep Revitalisasi LPD kedepannya, dengan mencarikan solusi bagi Pengurus LPD yang mengalami kendala dalam penarikan kredit macet. Setidaknya Pengurus LPD memiliki sandaran dari instansi pemerintah (yang membidangi) guna menjaga hak-hak keperdataan masyarakat.

Sinergitas pemerintahan yang responsif selayaknya mampu menjaga eksistensi LPD guna tercapainya kemandirian perekonomian Masyarakat Adat Bali yang menjadi salah satu penopang perekonomian dan pembangunan di Bali.
“Jangan hanya membakar lumbungnya, mari kita perbaiki dan jaga sendi LPD”. GS

Oleh : Anak Agung Ngurah Jayalantara, SH, MH (Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha)