Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)-

Diberitakan di media sosial, angka pemutusan hubungan kerja sampai akhir tahun 2024 diperkirakan akan mencapai 70 ribu orang.

Sebagian besar pemutusan hubungan kerja berasal dari industri tekstil, yang terpaksa ditutup karena kalah bersaing di pasaran ekspor, terutama dari produk China, dan keterlambatan dari industri padat karya ini melakukan penggantian teknologi.

Diberitakan juga, pemutusan hubungan kerja berasal dari perusahaan start up, yang dikenal dalam industri yang peka pada perubahan, sehingga tingkat “volatility” naik turunnya begitu tinggi.

Menanggapi hal itu, I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebudayaan mengatakan, pengangguran di industri tekstil dan industri lainnya yang umumnya padat tenaga kerja, merupakan penggambaran dari deindustrialisasi, berkurangnya peran sektor industri manufaktur dalam pembentukan pendapatan masyarakat (PDRB), yang berakibat bertambahnya cepatnya pengangguran tenaga kerja di sektor ini.

Dikatakan, pada sisinya yang lain, industri manufaktur yang padat modal, dengan teknologi tinggi, dengan komponen impor tinggi, sudah tentu tidak mampu menyerap tenaga kerja yang secara rata-rata hanya setingkat tamatan SMP.

Menurutnya, ini merupakan problem serius yang dihadapi dalam ekonomi ketenaga-kerjaan Indonesia.

“Ekonomi bertumbuh secara terbatas, pada putaran 5 persen, tetapi mayoritas tenaga kerja se tingkat tamatan SMP, nyaris tidak kecipratan rezeki dari pertumbuhan ekonomi tersebut,” kata I Gde Sudibya seraya menambahkan, ketimpangan pendapatan menganga, ketidak-adilan sosial semakin terasa.

Dikatakan, UU Cipta Kerja yang sarat kontroversi itu, memanjakan investor, merugikan lingkungan (karena Amdal tidak lagi menjadi persyaratan penting), memudahkan PHK.

Menurutnya, resentralisasi perizinan (bertentangan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah), liberalisasi ekonomi yang meluas termasuk untuk komoditas pangan, ternyata tidak mampu menciptakan kesempatan kerja lebih luas dan baru, bagi pasar tenaga kerja, dengan ketrampilan dan kemampuan managerial yang terbatas.

Menurut I Gde Sudibya, biaya sosial dan kemanusiaan dari “hantu” pengangguran ini luar biasa: hilangnya pendapatan dan pekerjaan, merosotnya harga diri dan rasa percaya diri, terkorbannya kualitas gizi keluarga dan masa depan pendidikan anak-anak.

Di sisi yang lain, lanjutnya, pemerintah gagal membangun Politik Harapan -political of hope-, karena sarat dengan “pat gulipat kekuasaan”, bagi-bagi kue kekuasaan di antara mereka sendiri, nyaris abai dalam mengemban amanah publik.

Menurutnya, terjadi paradoks disini, massa rakyat berjuang sebatas bisa bertahan hidup, tetapi ada anak Presiden, Kaesang memamerkan hedonismenya : naik jet pribadi dengan biaya sekitar Rp.15 M, membeli sepotong roti Rp.400 rupiah, membeli kereta dorong bayi dengan harga Rp.30 juta.

“Fenomena sosial yang sarat ironi dan kemudian menjadi tragedi dari sebuah kekuasaan,” kata I Gde Sudibya. (Sutiawan).