polisi_tidur_1

KEMACETAN sudah menjadi menu keseharian dari rutinitas keseharian warga masyarakat Bali, terutama di kawasan perkotaan setiap kabupaten/kota, termasuk di antaranya Kota Denpasar dan sekitarnya. Bahkan, realitas ini seakan sudah dianggap sebagai kebiasaan hingga menjelma menjadi budaya salah kaprah, yang cacat moral. Ini tentunya karena logika berpikir secara intelektual bernalar cenderung tanpa berdasarkan akal waras atau akal sehat.

Realitas ini terjadi bukan sekadar hanya karena faktor perubahan pola gaya hidup warga masyarakat sebagai dampak dari perkembangan dan kemajuan globalisasi dengan teknologi serba canggihnya, melainkan justru akibat adanya praktik pembiaran dari tindakan perilaku budaya premanisme secara masif dan sistemik dalam sistem birokrasi pemerintahan, baik di tingkat pusat (provinsi) maupun daerah (kabupaten/kota) termasuk di instansi/lembaga banjar adat ataupun dinas di lingkungan desa pakraman.

Ironisnya, realitas dari budaya cacat moral yang cenderung kebablasan ini seakan tidak pernah mendapatkan penanganan secara serius. Kenapa?, karena para elite politik penguasa pemangku kebijakan acapkali terlanjur terjebak dalam gejolak kebathinan kepribadian dari kepentingan kelompok/golongan tertentu atau kroninya. Sebagai upaya memenuhi keinginan hasrat dari nafsu duniawi semata. Sehingga, budaya cacat moral menjelma sebagai gerakan terorisme yang dapat mengancam upaya pencetakan karakter kepribadian dari generasi emas bangsa yang cerdas berbudaya dan berdaya saing global di masa depan.

Simak saja, sirkulasi hak publik terutama lalu lintas di kawasan strategis di Kota Denpasar dan sekitarnya yang semakin karut-marut. Apalagi, elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintah terutama instansi terkait yang bertanggungjawab atas sirkulasi hak publik dari lalu lintas tersebut sesuai tugas dan fungsinya acapkali terkesan menyalahgunakan kewenangannya secara kebablasan. Bahkan, terkesan tanpa rasa bersalah dan berdosa mengokupansi kepentingan hak publik melalui kebijakan yang menguntungkan kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu, seperti adanya pemasangan “polisi tidur”, dan tanda rambu lalu lintas tanpa kajian dan logika bernalar tanpa akal waras, pembiaran praktik parkir liar komersial di badan jalan dan di atas trotoar, serta beragam tindakan melanggar hukum lainnya.

Lucunya, para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam kepemimpinan dari instansi terkait di bidangnya seperti Kepolisian dan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) yang menangani aksesbilitas publik ini terkesan kurang bersinergis. Bahkan, kecenderungan saling lempar tanggungjawab dan seakan tidak mau dipersalahkan. Tragisnya, realitas ini semakin mempribatinkan dengan adanya kebijakan pembiaran dari tindakan keindahan perilaku praktik premanisme dalam ekologi desa pakraman, yang senantiasa melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan internal dengan sengaja mengabaikan kepentingan lebih besar dari khalayak publik, masyarakat dalam arti seluas-luasnya.

Hebohnya, para elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan terutama anggota legislatif bahkan terkesan berupaya keras memanfaatkan realitas atas fenomena ini sebagai angin segar untuk memenuhi kepuasan nafsu duniawi dari kepentingan pribadinya maupun kelompok ataupun golongan tertentu atau kroninya melalui berbagai kebijakan dalam rancangan anggaran keuangan pemerintahan sebagai program abadi berorientasi proyek mengatasi kemacetan.

polisi tidur

Kesadaran dan Terobosan

Fakta dari kesenjangan atas ketidaktertiban dan ketidaktaatan hukum, yang sengaja dikonstruksi sebagai budaya cacat moral dalam tatanan etik dan etika kehidupan berbangsa, serta bernegara dan bermasyarakat seakan terus berlanjut sepanjang tahun. Tanpa adanya niat tulus iklas tanpa parmih dan rasa bertanggungjawab bersama untuk melakukan perubahan perbaikan nyata secara menyeluruh. Jika fenomena ekstrem ini dibiarkan terjadi terus-menerus hingga kebablasan sebagai tradisi secara bertahun-tahun dipastikan dapat menjelma menjadi budaya salah kaprah yang cacat moral dalam ekologi desa pakraman.

Implikasinya, diyakini dapat mengancam upaya peningkatan pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dengan tatanan nilai adiluhungnya sebagai modal utama dalam pencetakan karakter bangsa di masa datang. Di samping itu, kebudayaan bangsa termasuk budaya Bali yang telah dikonstruksi oleh semangat spiritual religius khalayak publik, masyarakat luas dengan kekuatan ruh dari taksu yang berlandaskan ajaran Hindu secara berabad-abad lamanya dipastikan menjadi semakin kehilangan daya kreatif dan jati dirinya di tengah peradaban kapitalisme global dari persaingan industri pariwisata dunia.

Menyikapi fenomena ekstrem tersebut, sudah semestinya para elite politik penguasa pemangku kebijakan saling bersinergi dalam menciptakan solusi kreatif berbasis penegakan supremasi hukum secara berkeadilan dan menyejahterakan melalui upaya penindakan tegas terhadap tindakan keindahan perilaku praktik premanisme dalam ekologi desa pakraman sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tanpa pandang bulu ataupun pilih kasih dengan meningkatkan kinerja dan etos kerja dari tugas dan fungsi sosialnya sebagai abdi negara secara lebih optimal dan bertanggungjawab, transparan serta akuntabel.

Mengingat, beragam strategi penataan dari sirkulasi hak publik terutama lalu lintas yang telah dilaksanakan secara terus-menerus selama ini terlanjur dicap khalayak publik, masyarakat luas hanya sekadar wacana publik dalam sosial media baik cetak maupun elektronik termasuk internet sebagai upaya pencitraan dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan untuk memenuhi standarisasi kepentingan pribadinya maupun kelompok ataupun golongan tertentu yang telah berafiliasi dalam ekologi birokrasi pemerintahan termasuk kelembagaan desa pakraman secara masif dan sistemik.

Jadi dengan demikian sudah sangat jelas bahwa tidak perlu menunggu waktu lagi, melainkan perlu adanya tindakan tegas kita bersama secara pro-aktif dan berkelanjutan mulai detik ini juga dalam mengatasi karut-marutnya sirkulasi hak publik terutama lalu lintas dengan budaya kemacetan yang semakin krodit dan sangat kompleks. Dalam konteks ini, tentunya jika kita bersama atas dasar kebenaran dan keadilan yang lebih menyejahterakan sepakat tidak ingin kepentingan lebih besar dari khalayak publik, masyarakat luas termarjinalisasi ataupun tersandera oleh tindakan keindahan perilaku praktik premanisme dalam desa pakraman yang selama ini telah menikmati kenyamanan dengan sengaja melanggar hukum secara masif dan sistemik.

Langkah strategis ini merupakan indikator utama dari proses penyelamatan pembangunan perekonomian bangsa termasuk Bali di masa datang. Apalagi, keamanan dan kenyamanan dari sirkulasi hak publik terutama lalu lintas sebagai kebutuhan paling strategis dalam menunjang kemajuan dan perkembangan industri pariwisata bangsa khususnya Bali. Terlebih lagi, setiap tahunnya rata-rata kenaikan jumlah kendaraan di Bali mencapai lonjakan sekitar 7 persen, dan hal ini tentunya sangat tidak sebanding dengan pertambahan panjang jalan yang hanya mencapai sekitar 2 persen saja.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2013 mencatat, bahwa jumlah kendaraan bermotor di Bali telah mencapai angka sebanyak 2,74 juta unit. Jumlah itu didominasi oleh 2,3 juta unit kendaraan roda dua dengan kendaraan roda empat untuk penumpang sekitar 267.000 unit. Sedangkan, sisanya kendaraan jenis lainnya.

Sementara itu, panjang jalan di Bali tahun 2009 tercatat 7.306 km, yang terdiri atas 535 km jalan nasional, 883 km jalan provinsi, dan 5.888 km jalan kabupaten/kota. Pada 2012 memang ada penambahan panjang jalan, namun hanya menjadi 7.548 km. Pertambahan ini pun sangat terbatas hanya untuk jalan kabupaten/kota. Pada tahun 2013, jalan tol di atas perairan benoa dan underpass menjadi alternatif sementara untuk memecah kemacetan di sekitar Badung, khususnya ke Bandara Internasional Ngurah Rai, Nusa Dua, dan sekitar Denpasar.

Berbagai terobosan memang telah diupayakan termasuk pengadaan transportasi publik seperti bus sarbagita dan angkutan umum gratis, serta penerapan pajak progresif bagi kendaraan bermotor untuk mengatasi kemacetan. Tapi, upaya strategis ini terkesan seakan semakin tersingkirkan. Ini tentunya karena kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas publik masih sangat rendah, dan bahkan cenderung disalahgunakan demi memuaskan kepentingan pribadi maupun golongan/kelompok tertentu.

Dalam konteks ini, sebenarnya beragam upaya inovasi dalam mengatasi kemacetan tidak akan dapat tercapai sesuai tujuannya tanpa adanya kesadaran bersama secara tulus iklas tanpa pamrih dari warga masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas publik sesuai dengan kapasitas dan keperluannya berdasarkan ketentuan konstitusi negara (hukum). Sehingga, tidak muncul kesan negatif bahwa sirkulasi lalu lintas di Bali terasa lapang, santai dan lancar serta terbebas dari kemacetan hanya pada saat hari raya keagamaan sedang berlangsung. Di antaranya perayaan raya suci  Nyepi, Galungan, dan Kuningan, serta Lebaran.

Impian dari normalisasi sirkulasi hak publik terkait lalu lintas merupakan harapan dari kedaulatan warga masyarakat dalam menikmati kehidupan ini secara berdaulat dan bermartabat sesuai ketentuan dari konstitusi negara. Karena itu, negara dalam hal ini para elite politik penguasa pemangku kebijakan yang terkait di bidangnya dituntut harus hadir dalam menggugah kesadaran warga masyarakat secara lebih konkrit. Terlebih, saat ini merupakan waktu yang sangat tepat dari proses perubahan menuju kehidupan demokrasi kebangsaan bermartabat, melalui reformasi sistem kenegaraaan dengan gerakan revolusi mental dan revolusi budaya secara sistematis dalam birokrasi pemerintahan.

Atas dasar itulah, pemimpin bangsa ke depan dituntut harus senantiasa mawas diri atau introspeksi diri, dan tidak terjebak ataupun terkooptasi hanya pada karisma, cara berpikir strategis, visi misi, kemampuan memengaruhi orang lain, kemampuan orasi, dan persepsi diri lainnya dalam memobilisasi massa, sikap priayi atau eksklusivisme, melainkan harus mampu fokus mewakafkan kepentingan pribadi untuk mengayomi dan melindungi keadilan dan kebenaran demi kemaslahatan publik yang menyejahterakan. Sehingga, kehidupan berdemokrasi semakin mencerahkan, dan upaya normalisasi hak publik termasuk kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan setiap kabupaten/kota termasuk di Kota Denpasar yang selama ini sangat karut-marut dapat diatasi secara lebih konkrit dan nyata, serta tepat waktu dan tepat guna. Demi kepentingan pembangunan ekonomi dan destinasi pariwisata global. WB-MB