Foto: Rektor Dwijendra University, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA., bersama para pakar subak dunia di sela-sela FGD “Mewujudkan Pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Secara Berkelestarian” di aula Udyana Shanti Yayasan Dwijendra, Denpasar, Jumat pagi (22/11/2019).

Denpasar (Metrobali.com)-

Dwijendra University menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mewujudkan Pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Secara Berkelestarian” di aula Udyana Shanti Yayasan Dwijendra, Denpasar, Jumat pagi (22/11/2019).

FGD ini merupakan bentuk kepedulian dan partisipasi Dwijendra University terhadap  penguatan pengelolaan Warisan Budaya Dunia (WBD) di kawasan Jatiluwih, Tabanan.

FGD yang bekerjasama dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Bali ini dibuka Rektor Dwijendra University, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA.

Yang tidak kalah menarik FGD ini menghadirkan pakar subak dunia yang dijuluki “Bapak Subak Dunia” yakni Prof Steve Lansing yang merupakan peneliti Arizona University. Pakar pertanian kelas dunia lain yang hadir yakni Prof Naori Miyazawa dari Nagoya University, Jepang.

Pakar pertanian lainnya diantaranya Prof. Dr. I Wayan Windia, SU dan  Dr. Wayan Alit Arta Wiguna yang mempresentasikan komponen pengelolaan kawasan warisan budaya dunia secara berkelestarian dalam skala lokal, nasional dan internasional.

Rektor Gede Sedana mengungkapkan penyelenggaraan FGD ini sangat penting dilakukan guna menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap pengelolaan kawasan WBD Jatiluwih yang telah diakui oleh Badan Dunia UNESCO sejak 2012 lalu.

“Kita bersyukur Subak Jatiluwih ditetapkan sebagai WBD. Tapi dalam perjalanan banyak hal kurang sesuai, banyak yang menyimpang dan jadi potensi masalah besar serta konflik,” kata Rektor Gede Sedana.

“Kalau hal ini dibiarkan bisa sebabkan WBD dicabut lagi statusnya. Makanya harus ada langkah bersama selamatkan Jatiluwih,” imbuh Rektor Gede Sedana.

Pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta stakeholder terkait diharapkan menyatukan visi dan langkah serta bersama-sama mewujudkan pengelolaan WBD Jatiluwih yang lebih bagus sesuai rencana dalam management plan yang diajukan ke UNESCO.

“Jangan lagi ada pihak yang sifatnya ego sektoral apalagi hanya memanfaatkan Jatiluwih khusus untuk pariwisata bukan pelestarian subak sesuai esensi pengajuan WBD,” tegas Rektor Gede Sedana.

Karenanya FGD ini diharapkan memberikan gambaran tentang komponen pengelolaan kawasan warisan budaya dunia secara berkelestarian seperti yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dengan UNESCO.

“Semoga dalam FGD ini bisa kita berikan masukan kepada pemerintah dalam upaya buat action plan untuk selamatkan WBD karena management plan sudah ada,” kata Rektor Gede Sedana.

FGD ini juga untuk mengetahui kondisi pariwisata di Kawasan Catur Angga Batukaru (Jatiluwih) dan implikasinya terhadap pengelolaan kawasan warisan budaya dunia secara berkelestarian.

Yang tidak kalah penting bahasan dalam FGD ini akan  memberikan rekomendasi strategis dan teknis mengenai pengelolaan kawasan warisan budaya dunia secara berkelestarian.

Prof Steve Lansing mengatakan pengelolaan WBD Jatiluwih harusnya sesuai dengan dokumen management plan saat penyampaian ke UNESCO. “Tidak sulit cari solusi. Karena tidak mulai dari awal. Sudah ada pengakuan UNESCO. Jadi jalankan saja sesuai management plan,” ungkapnya.

Ia pun menegaskan agar pengelolaan Jatiluwih berada dalam koordinasi semacam Dewan/Badan Pengelola agar bisa diatur dan tidak liar seperti sekarang dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata. Seperti maraknya pembangunan restoran dan akomodasi pariwisata di kawasan Jatiluwih.

“Tapi sebaiknya yang wajib kelola adalah pengempon subak yang punya kewajiban. Tapi ini sulit dipraktikkan karena banyak instansi yang punya peran dan ada ego sektoral. Akibatnya petani belum dapat nilai tambah dari penetapan status WBD oleh UNESCO ini,” kata Prof Lansing.

Ia menambahkan Bali punya sistem pengelolaan subak yang secara demokratisasi. Karenanya perlu diberikan keleluasaan pada subak supaya bisa menyesuaikan diri pada keadaan sekarang.

Pakar pertanian Dr. Wayan Alit Arta Wiguna mengajak semua pihak melakukan langkah-langkah rill untuk mempertahankan status WBD Jatiluwih dan juga agar sesuai dengan tujuan awalnya.

“Pengajuan WBD ini tidak semudah orang bayangkan. Sekarang sudah ditetapkan ya harus kita jaga bersama. Jangan disia-siakan,” kata Alit yang juga merupakan Penyuluh Pertanian Utama di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali.

Ia pun menyoroti pengelolaan Jatiluwih yang seperti tidak terkendali dan berkembang liar. “Ini sudah out of control. Ada nilai ekonomis tapi manfaat konservasi tidak ada. Harusnya bagaimana subak memberi manfaat ekonomi  tapi juga tetap lestari,” ungkap Alit.

Ketua HKTI Bali Prof. Dr. Nyoman Suparta mengungkapkan persoalan WBD Jatiluwih memang menjadi agak rumit dan kompleks.  Yang sekarang ini tidak jelas di bawah siapa pengelolaannya. Akomodasi pariwisata dan restoran berkembang liar sendiri. Bahkan sampai ada lapangan helipad.

“Padahal konsep awalnya tidak seperti ini. Harusnya berbasis subak.  Bukan buat hotel tapi yang dikembangkan home stay dari petani anggota subak. Buat apa juga ada lapangan helipad. Harusnya Jatiluwih dijaga kealamian dan keunikannya,” ungkap Prof Suparta.

Pihaknya pun berharap pengelolaan kawasan WBD Jatiluwih bisa di bawa koordinasi Pemerintahan Provinsi Bali dan bisa ditindaklanjuti berbagai penyimpangan yang ada. (dan)