Oleh Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum., Wakil Rektor I Universitas Dwijendra

Denpasar (Metrobali.com)-

Peran guru sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Guru sebagai garda terdepan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 14 Tahun 2005  tentang Guru dan Dosen   pada Bab II Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Pada pasal 1 dan 2 dengan jelas bahwa guru dinyatakan sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Hal ini mengisyaratkan tugas guru sangat vital dalam mengemban tugas  sebagai pendidik yang profesional sehingga guru dapat membentuk pribadi siswa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Pemerintah mengharapkan para peserta didik mencapai berbagai kompetensi dengan penerapan HOTS atau Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Kompetensi tersebut yaitu berpikir kritis (criticial thinking), kreatif dan inovasi (creative and innovative), kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan bekerja sama (collaboration) dan kepercayaan diri (confidence).

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (High Order Thinking Skills/HOTS) juga diterapkan menyusul masih rendahnya peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dibandingkan dengan negara lain.

Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) merupakan program yang dikembangkan sebagai upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kualitas lulusan.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya meningkatkan keterampilan HOTS dengan menerapkan program merdeka belajar. Esensi Merdeka Belajar adalah menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan murid untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi pendidikan. keberagaman pendekatan yang ada menghasilkan berbagai macam teknik dan inovasi di setiap daerah, sekolah, dan siswa.

Untuk mencapai tujuan itu pemerintah mencanangkan program guru penggerak.  Program Guru Penggerak ini bertujuan untuk menyiapkan para pemimpin pendidikan Indonesia masa depan, yang mampu mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif dan proaktif dalam mengembangkan guru di sekitarnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.

Guru penggerak mengupayakan terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan karakter dan budaya positif. Internalisasi pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan dengan baik apabila dikembangkan budaya positif di sekolah. Sekolah sebagai tempat pembelajaran menciptakan suasana yang memberi kenyamanan bagi anak.

Siswa terbebas dari rasa tertekan dalam pembelajaran. Budaya positif sekolah tentu membebaskan siswa dari perundungan temannya maupun terbebas dari kasus pelecehan seksual. Masih banyak kasus perundungan  dan pelecehan seksual yang dialami siswa di sekolah.

Hal ini tentu tidak memberikan rasa nyaman bagi siswa. Guru penggerak diharapkan menjadi agen pembangun budaya positif sekolah sehingga sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa dalam proses pembelajaran.

Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Salah faktor tersebut adalah bagaimana guru memposisikan murid dalam pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada murid (student centered learning) sudah mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran aktivitas murid yang diutamakan. Guru memposisikan diri sebagai fasilitator.

Implementasi  pendekatan student centered learning belum maksimal. Belum semua guru bisa mengiplementasikan apa esensi dari pendekatan tersebut sehingga pembelajaran masih berpusat pada guru.

Proses pembelajaran hendaknya didisain berpihak pada siswa. Pembelajaran mengakomodasi apa yang dibutuhkan oleh siswa sehingga pembelajaran tersebut bermakna bagi siswa.

Guru penggerak yang telah mengikuti pelatihan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan kepada pemangku kepentingan sekolah  mengarahkan proses pembelajaran yang berpihak pada siswa. Apa aksi nyata yang dilakukan guru untuk mengarahkan pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa dalam pembelajaran.

Tumbuh kembang holistik siswa juga menjadi perhatian dalam proses pembelajaran. Tiga kompetensi  yaitu kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor dikembangkan dalam proses pembelajaran. Selama ini proses pembelajaran lebih banyak memberikan porsi pada pengembangan kognitif anak sehingga pembelajaran lebih diarahkan pada penguasaan konten keilmuan.

Kompetansi afektif siswa dan keterampilan siswa  belum dikembangkan dengan maksimal. Hal ini ditengarai oleh beberapa kalangan sebagai penyebab adanya fenomena degradasi moral dikalangan siswa.

Guru penggerak diharapkan dapat menggugah pemangku kepentingan pendidikan terlibat dalam proses peningkatan kualitas pendidikan. Usaha peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah. Lingkungan keluarga turut memberikan andil dalam peningkatan kualitas pendidikan.

Siswa lebih banyak berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya (masyarakat. Oleh karena itu, orang tua dan lingkungan sekitar mempunyai tugas mengembangkan potensi anak. Potensi anak dapat dikembangkan secara secara utuh (holistik) mencakup dimensi sosial, emosional, bahasa dan kognitif, fisik, dan kreativitas. Shochib (1998) menjelaskan bahwa pola asuh dalam keluarga memiliki dua tugas pokok, yaitu mengembangkan karakter dan kompetensi anak.

Perwujudan profil pelajar Pancasila merupakan agenda yang paling penting dalam proses pembelajaran. Hal ini hendaknya menjadi atensi pemangku kepentingan pendidikan. Learning outcome yang dicapai oleh setiap sekolah selalu mengacu pada nilai Pancasila.

Masyarakat Indonesia yang multi etnik dan multi budaya dan agama sangat rentan terhadap perpecahan. Oleh karena itu, pembelajaran didisain dengan baik sehingga nilai-nilai Pancasila terpatri  dan terimplementasi dalam kehidupan siswa baik di sekolah, di rumah, serta di lingkungan siswa (di masyarakat).