Denpasar, (Metrobali.com)

Diberitakan dua gunung meletus hampir bersamaan: Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, meletus Minggu (4/12). Gunung Kerinci, gunung tertinggi di bumi Nusantara, meletus Selasa (6/12) pukul 8.22 Wib.
Dua gunung yang direlasikan dengan budaya kepemimpinan dan kekuasaan di Tanah Jawa pada khususnya dan bumi Nusantara pada umumnya. Letusan gunung, dalam hubungan mikro kosmos dan makro kosmos, relasi buana Agung-buana Alit, mengganggu Rtem, keserasian harmoni hubungan alam dengan manusia.
Dalam sistem keyakinan bumi Nusantara: Gunung adalah simbol sumber kehidupan, melahirkan ethos kerja respek pada alam, mengelola alam dalam ambang batas alam itu sendiri.
Berangkat dari sistem keyakinan ini, meletusnya dua gunung ini, merupakan sasmita alam bagi manusia di bumi Nusantara terutama pemegang kekuasaan untuk berbenah diri, mawas diri, koreksi diri dalam menjalankan dharma kekuasaan.
Sasmita alam yang begitu banyak terjadi, sebagian karena krisis iklim, sebagian karena alam punya hukumnya sendiri dalam menata “diri”,manusia yang semestinya makhluk yang berbudi pekerti luhur, dengan kecerdasan dan kearifannya, memberikan respons yang cerdas menangkap sasmita alam ini.
Tetapi, ada persoalan di sini, merujuk salah satu Upanisad, dinyatakan: jika keserakahan menguasai manusia, maka langit akan runtuh, keruntuhan mulai dari runtuhnya kecerdasan manusia.
Keruntuhan kecerdasan akibat keserakahan tampak nyata di negeri ini. Kita bisa simak, kualitas kebijakan pengelolaan SDA, pendidikan dan pada hampir semua kebijakan di semua lini kehidupan berbangsa.
Kebijakan yang menggambarkan keserakahan kekuasaan, yang sekaligus membenarkan adagium: kekuasaan cendrung salah guna dan korup.
Meletusnya gunung Semeru dan gunung Kerinci yang selisih harinya satu hari, semestinya penghuni bumi Nusantara ini tetap ajeg menjalankan dharma kehidupan berbasis kearifan bumi Nusantara, menata kembali diri dalam membangun kembali kesadaran diri (jagra).

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).