Gunung Api hingga Krisis Air Intai Bali : Visi Wana Kertih hanya Slogan dan Syarat Himbauan Tanpa Matrik
KETERANGAN POTO : Posisi yang bopeng ini di perbukitan Dawan Kaler, Klungkung — amat dekat dengan Pengumbang — di wilayah ini ada banyak mata air, tepatnya di kaki Bukit Tirta Bima. Saban pulang saya sering mandi di sini. Airnya sejuk, wilayahnya masih lumayan hijau. Konon pemilik tanah sengaja membiarkan tanahnya dikeruk, dengan alasan penataan. Hidup wana kerthi/ akun FB
Denpasar, (Metrobali.com)-
Tentang Gunung Api. Dalam catatan sejarah abad ke 20, Gunung meletus nyata adanya. Tahun 1926 Gunung Batur meletus, Desa yang ada di bawah, Bubung Klambu pindah ke atas di Desa Batur sekarang. Cerita Tetua Bali yang mengalaminya, letusan cukup dashyat dan kemudian sangat berdampak terhadap hasil pertanian sesudahnya.
Hal itu dikatakan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Selasa 16 Mei 2023 menanggapi tulisan Cok Yudistira di Kompas tentang Gunung Api hingga Krisis Air Intai Bali.
“Catatan sejarah Bali mencatat, pasca Gunung Batur meletus, dalam dasa warsa tahun 1930’an, Bali memasuki masa malaise, disebut zaman “meleset” karena sulitnya perekonomian di masa itu,” katanya.
Jro Gde Sudibya mengungkapkan, Maret 1963 Gunung Agung meletus, dampak kerugiannya luar biasa, jiwa manusia dan harta, terutama akibat “diterjang” lahar panas dan kemudian dingin, melewati sungai- sungai yang ada. Terjadi kelaparan, istilahnya di masa itu “busung lapar” dari para pengungsi yang menyebar ke seluruh Bali. Terjadi paceklik hasil panen, kurang lebih 10 tahun pasca letusan, hampir merata di seluruh Bali.
“Risiko gunung meletus itu nyata, semestinya strategi pembangunan Bali kini dan ke depan, mempertimbangkan risiko ini dalam perencanaan proyek pembangunan, dan program mitigasi bencana yang direncakan secara matang, karena risiko bencana sangat tinggi.
Pembangunan yang a historis, mengabaikan sisi kesejarahan harus dihentikan, terlebih-lebih risiko meletusnya Gunung Agung dan Gunung Batur,” tandas manta anggota MPR RI utusan Bali ini.
Menurut dia selain Gunung Berapi, Risiko Krisis Air Bali juga perlu mendapat perhatian. Jika pemimpin sekarang lalai akan resiko itu maka penggantinya akan lebih peduli dan benar benar punya nyali menyelamatakan alam Bali dalam bentuk tindakan.
Dikatakan, pasokan terbesar air di Bali terutama bersumber dari 4 kawasan hutan: Pengejaran, Penulisan, hutan di kawasan Gunung Agung dan Gunung Batukaru, yang kemudian “tertampung” di 4 Danau: Batur, Beratan, Buyan dan Tamblingan. Empat kawasan tersebut di atas dan hutan-hutan lainnya, mengalami tekanan berat, akibat alih fungsi lahan, penebangan liar dan program reboisasi yang setengah hati. Demikian juga dengan kondisi 4 Danau.
“Sebut saja Danau Batur, kondisinya semakin memprihatinkan, tidak ada program holistik terpadu untuk penyelamatannya. Ada program sporadis parsial, dengan pencitraan yang tidak akan menyentuh inti persoalan. Visi wana kertih (kesejahteraan hutan), mencermati kondisi di lapangan, hanya sebatas slogan, sarat himbauan tanpa matriks kebijakan penyelamatan hutan dan lingkungan, yang tolok ukurnya jelas dengan jadwal yang ketat,” katanya.
Menurutnya risiko gunung meletus dan krisis air buat Bali kini dan ke depan, nyata adanya. Diperlukan jiwa besar (greatness) dari elite pengambil kebijakan akan risiko ini, penentuan strategi pengelolaan risiko, risk management, lengkap dengan program mitigasi bencana yang jelas dan terukur.
“Masyarakat jangan dininabobokkan, hanya sebatas janji-janji kampanye politik, lengkap dengan identitas adat, budaya dan agama, yang bisa saja “menjebak”, dengan bayang-bayang risiko bencana alam gunung meletus dan krisis air yang akut, yang bisa “menenggelamkan” Bali, dan membawa derita berkepanjangan,” kata Jro Gde Sudibya.
Menurutnya, sejarah selalu mengajarkan, masyarakat yang ditimpa krisis yang semakin akut, tetapi membiarkannya, bahkan ada bagian elite yang terus “berpesta”, soal waktu saja akan ditimpa krisis yang lebih besar, sampai tidak mampu lagi menanggung beban deritanya.
“Mari kita belajar sejarah, tamsilnya, untuk tidak terperosok dalam lubang yang sama berkali-kali,” pesannya. (Adi Putra)