Pasangan Bakal Calon Presiden dam Wakil Presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD (GP-MM)

Denpasar, (Metrobali.com)-

Goenawan Moehamad (GM) sebagai wartawan senior, eseis, sastrawan dan bahkan filosof, pendapatnya sangat pantas disimak. Benar apa yang disampaikan oleh Romo Mangun dalam kongres kebudayaan tahun 1987 di TIM Jakarta, senimanlah yang paling pertama melihat ufuk baru perubahan.

Hal itu dikatakan pengamat politik dan toko masyarakat Bali Jro Gde Sudibya, Jumat 27 Oktober 2023 menanggapi memanaskan suhu politik 2024 mendatang terkait dengan Pilpres yang akan digelar Februari 2024.

Jro Gde Sudibya mencontohkan Butet dkk dari Jogyakarta juga telah menyampaikan “sasmita” yang sama.

‘Sudah semestinya Jokowidodo (JW) “bertobat”, dan ini belum terlambat, aturan KPU tentang pencalonan di KPU belum terpenuhi, dinamika yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) hari-hari ini, secara etis dan moral sudah bisa dibayangkan “nasib” yang akan menimpa Ketua MK.

Menurutnya, suara dan pemikiran seniman dan sastrawan tidak semua murni dan jernih dalam memandang bangsa dan negara ini ke depan.

“Setuju. Di Bali terjadi, kelompok seniman maaf, marginal, pas-passan, ekspresi berkeseniannya nanggung, belum mengekpresikan totalitas rasa batinnya, sehingga mudah terjebak pada pujian palsu dan juga pragmatisme ekonomi,” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, suara dan pemikiran seniman dan sastrawan perlu didengar oleh masyarakat. Seniman sekelas Gede Manik dari Desa Jagaraga (Buleleng), I Mario (Tabanan) dan banyak lain, penari Ni Nym.Reneng, Br.Pagan Denpasar, dalam sejarahnya bukanlah seniman “ecek-ecek” yang mudah “menghamba” pada kekuasaan.

“Kehidupanya yang begitu suntuk berkesenian dan begitu total, tidak sempat “ngurusi” kekuasaan yang cendrung korup. Dampaknya maestro ini, pemberi spirit nyaris abadi buat generasi seniman berikutnya, ” kata Jro Gde Sudibya.

Kembali ke pernyaan GM di atas, kata Jro Gde Sudibya, pernyataan seniman, budayawan, dan sastrawan terhadap dinamika politik yang sedang berlangsung, bentuk perlawanan dari kalangan seniman dan budayawan yang tetap mampu merawat nuraninya terhadap salah guna kekuasaan yang begitu dashyat, telah merusak alam begitu massif dan luas, Ibu Pertiwi “terluka” dan menghina rasa keadilan rakyat.

Dikatakan, dalam konteks Bali kontemporer sastrawan Umbu, merupakan contoh sastrawan par excellence.

“Setuju. Ganjar Pranowo dibesarkan di Kutoarjo, daerah penghasil tembakau, pasti paham dampak ekonomi (multiplier effect) dari budi daya tembakau dan industri rokok non mesin, terhadap kesempatan kerja dan penciptaan pendapatan bagi “wong cilik”.” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, “Kita perlu pemimpin model GP yang telah terbukti memihak kaum marhaen. Bukan pemimpin yang ditaklukkan oleh oligarki,” yang menjarah jutaan hektar lahan dari UU yang direkayasa untuk itu, melahirkan ketidak adilan ekonomi yang dashyat. Tetapi cerdik dan bahkan licik, membagi “uang receh” ke rakyat, membuat rakyat awam dan lugu, menyembahnya setengah “dewa”.

“Kelicukan ini cepat atau lambat akan berakhir, pada saat alam hancur lebur secara total, ketidak adilan tidak tertahankan, ambang batas kesabaran sosial rakyat terlewati. Tamsilnya, “rumput sudah begitu kering, gesekan daun bisa menyebabkan kebakaran besar yang tidak lagi bisa dipadamkan”. (Adi Putra)