Foto: Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nyoman Sugawa Korry bersama jajaran pengurus dan para narasumber usai webinar bertajuk “Kajian Kritis Implementasi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah”, bertempat di Kantor Golkar Bali Jalan Surapati, Denpasar, Sabtu (31/12/2022).

Denpasar (Metrobali.com)-

Partai Golkar Provinsi Bali terus berjuang di garda terdepan menuntut hak dan keadilan untuk Bali kepada pemerintah pusat agar Bali mendapatkan dana bagi hasil dari sektor pariwisata yang berkontribusi memberikan pendapatan bagi negara.

Walaupun revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), telah memupus perjuangan Bali untuk mendapat dana perimbangan dari sektor pariwisata, Golkar Bali tidak menyerah untuk memperjuangkan keadilan bagi Bali. Sebab masih ada celah peraturan perundangan-perundangan untuk memperjuangkan itu baik bisa berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun membentuk undang-undang  baru.

Demikian yang terungkap saat DPD Partai Golkar Provinsi Bali menggelar webinar bertajuk “Kajian Kritis Implementasi UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah”, bertempat di Kantor Golkar Bali Jalan Surapati, Denpasar, Sabtu (31/12/2022).

Webinar yang digela secara hybrid ini menghadirkan tiga narasumber yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.,M.Hum., Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nyoman Sugawa Korry,S.E.,M.M.,Ak.,C.A., dan Bupati Karangasem Periode 2005-2015 I Wayan Geredeg,S.H.

“Kami ingin Bali diberlakukan secara adil. Kenapa daerah yang memiliki sumber daya alam saja diberikan dana bagi hasil sementara daerah seperti Bali yang punya pariwisata tidak diatur dalam undang-undang itu. Ini kan tidak adil. Yang kita ngototkan itu adalah keadilan karena kalau keadilan berjalan baik negara akan jadi negara yang kuat, itu pasti,” tegas Sugawa Korry.

Sugawa Korry mengatakan, UU Nomor 1 Tahun 2022 menghapus peluang Bali untuk mendapat dana perimbangan pusat. Bali yang tidak memiliki sumber daya alam (SDA) seperti pertambangan minyak bumi, gas bumi, panas bumi, dan pertambangan lainnya tentu saja tidak dapat pembagian “kue” dari Pemerintah Pusat. Lahirnya UU 1/2022 kini menghapus dana perimbangan pusat dan pemerintah daerah menjadi hubungan keuangan daerah dan pusat. Jadi, dana perimbangan hilang, berubah menjadi hubungan keuangan daerah dan pusat yang menghilangkan peluang Bali.

“Kami memang belum happy dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 kaitannya dengan hak Bali termasuk daerah lain misalnya Jogja, NTT, Manado dan sebagainya yang memang memberikan kontribusi di sektor pariwisata,” ujar politisi senior Golkar yang juga Wakil Ketua DPRD Bali ini.

Walaupun demikian, Sugawa Korry menegaskan masih ada peluang pengaturan agar kontribusi dari sektor pariwisata di daerah bisa dimasukkan sebagai bagian dana bagi hasil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yakni melalui pengaturan di Peraturan Pemerintah (PP) maupun membentuk undang-undang baru untuk mengakomodir usulan tersebut.

“Daerah yang tidak mempunyai sumber daya alam tapi punya kontribusi dari sektor pariwisata seperti Bali, Yogyakarta dan daerah lain, saran kami paling tidak bisa diakomodir di PP atau mungkin nanti ada undang- undang tersendiri untuk itu sehingga dengan demikian sebagaimana hakikat pembentukan undang-undang harus berkeadilan, memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan bisa dijadikan landasan kepastian hukum dalam kebijakan khususnya dalam merancang pendapatan di daerah. Oleh karena demikian, apa yang kami rumuskan mudah-mudahan bisa menjadi bahan masukan untuk teman-teman wakil rakyat dan pimpinan kita di tingkat pusat,” terang Sugawa Korry.

Sugawa Korry juga meluruskan beberapa hal yang menjadi kesalahpahaman publik ataupun sering diplesetkan berkaitan dengan kontribusi dari pariwisata Bali kepada pemerintah pusat dan devisa.

“Sebelumnya sering diplestkan, kita di Bali menuntut keadilan seolah-olah karena kita memberikan kotribusi devisa ratusan triliun, bukan begitu. Itu keliru. Kalau devisa itu tidak bisa dibagi, misalnya devisa yang masuk untuk tiket pesawat, akomodasi dan lain-lain. Tapi yang kita harapkan adalah hak dari pendapatan negara akibat dari kegiatan pariwisata,” jelas Sugawa Korry.

“Karena prinsip dana bagi hasil itu adalah dana yang diperoleh sebagai pendapatan negara dari kegaitan di daerah itu, seperti pertambangan misalnya. Lalu pariwisata kan faktanya memberikan pendapatan bagi negara. Sekarang tinggal kalaupun dibuat di PP dan undang-undang baru, dibuatkan dan dirumuskan dulu definisinya apa itu sumber daya lainnya sehingga daerah yang tidak punya sumber daya alam bisa mendapatkan dana bagi hasil, yang lebih rinci terkait dengan pariwisata harus dimasukkan,” papar Sugawa Korry lebih lanjut.

Plesetan kedua, katanya, sering dikatakan bahwa Bali sudah banyak dibantu pemerintah pusat misalnya dengan pembangunan infrastruktur. Namun sekali lagi Sugawa Korry menegaskan yang diharapkan Bali itu sebenarnya bukan bantuan dalam artian belas kasihan tapi bantuan karena haknya. Bantuan karena haknya itu baru bisa didapatkan kalau sudah ada dasar hukumnya di undang-undang.

“Kalau selama ini kan bantuan yang didapatkan Bali bukan karena haknya tapi kebijakan pemerintah pusat. Oleh karena demikian kita tetap berharap bantuan dari pemerintah pusat tapi hak Bali juga harus diberikan dan atas dasar undang-undang. Kebijakan sekarang bagus tapi sewaktu-waktu bisa berubah karena bukan jadi kewajiban pemerintah pusat,” terang politisi senior Golkar asal Desa Banyuatis Kecamatan Banjar ini.

Di sisi lain Sugawa Korry juga berharap Bali harus tetap berkreativitas mencari sumber pendapatan lain tapi prinsip dasarnya tidak memberatkan masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebelumnya Bali pernah berkreativitas dengan Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kontribusi Pariwisata, yang tidak membebani masyarakat tapi yang dipungut adalah wisatawan.

Namun Perda itu dianggap bertentangan dangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena kontribusi wisatawan tidak masuk dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. “Akhirnya menjadi kontribusi sukarela dari wiatawan yang bisa iya bisa tidak karena tidak wajib,” ujar Sugawa Korry.

Golkar Bali lantas berharap berbagai masukan dan hasil kajian dalam webinar ini ke depannya bisa ditindaklanjuti dan diperjuangkan para wakil rakyat Bali di pusat baik secara bersama-sama antara Anggota DPR RI dan Anggota DPD RI dari Bali yang bakal terpilih nanti hasil Pemilu 2024.

“Apa yang kita lakukan ini murah meriah, tapi hasilnya luar biasa. Kegiatannya kaki lima tetapi hasilnya bintang lima. Dan yang kita harapkan sederhana sekali bukan nilainya tetapi haknya terhadap pendapatan APBN yang diperoleh dari kegiatan non sumber daya alam yang diberikan kepada sumbernya. Kalau kita di Bali ya dari sektor pariwisata,” pungkas Sugawa Korry. (dan)