Foto: DPD Partai Golkar Bali menggelar Webinar “Mewujudkan Keadilan dan Keselarasan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali serta Pemerintah Daerah lainnya melalui Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ” yang dilaksanakan secara online dan offline, Jumat (2/4/2021) Kantor DPD Golkar Bali.

Denpasar (Metrobali.com)-

Rencana pemerintah pusat merevisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang sudah masuk dalam daftar dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021 di DPR RI membawa angin segar bagi daerah-daerah yang tidak mempunyai pendapatan dari sumber daya alam tapi punya pendapatan sumber daya lainnya seperti pariwisata.

Revisi UU 33/2004 ini dianggap penting dan diharapkan mewujudkan keadilan bagi daerah-daerah seperti Bali, Yogyakarta dan daerah lainnya yang berkontribusi besar dari pendapatan di sektor pariwisata agar mendapatkan dana bagi hasil yang proporsional dari pemerintah pusat.

Karenanya secara yuridis sektor pariwisata diharapkan dan didorong menjadi objek dana bagi hasil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengaturan pasal-pasal di batang tubuh revisi UU 33/2004 ini.

Nantinya dana bagi hasil yang kita peroleh bisa digunakan sebagai reinvestasi untuk menjaga, merawat dan melestarikan sosial, budaya, adat istiadat dan alam Bali. Sebab budaya dan alam Bali telah lama tereksploitasi untuk pariwisata.

Di sisi lain diperlukan perluasan makna sumber daya alam (SDA) dalam UU tersebut sehingga tidak hanya menyangkut sumber daya alam fisik atau material seperti dari tambang, kehutanan, minyak bumi dan lainnya tapi juga menyangkut sumber daya alam non fisik atau immaterial.

Dengan masuknya sumber daya alam non fisik atau immaterial ini Bali bisa mendapatkan dana bagi hasil dari sektor pariwisata. Sebab selama ini pariwisata Bali ditopang oleh sumber daya alam non fisik atau immaterial seperti keindahan alam, keunikan budaya, keramahtamahan masyarakat Bali.

Demikian poin-poin yang terungkap dalam Webinar bertema “Mewujudkan Keadilan dan Keselarasan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali serta Pemerintah Daerah lainnya melalui Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ” yang dilaksanakan secara online dan offline oleh DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Jumat (2/4/2021) Kantor DPD Golkar Bali.

Webinar dibuka langsung Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nyoman Sugawa Korry,S.E.,M.M.,Ak.,CA., didampingi Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. Ir. I Made Dauh Wijana, M.M.

Moderator Webinar Drs.Dewa Made Suamba Negara,M.Si.,yang juga Ketua Panitia Webinar di awal menyebutkan bahwa pengaturan dalam UU 33/2004 masih mencerminkan ketidakdilan sebab belum diatur dengan tegas dana bagi hasil dari sumber daya lainnya dan hanya menekankan pada dana bagi hasil dari sumber daya alam.

Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi daerah-daerah yang tidak punya sumber daya alam seperti Bali dimana Bali unggulannya adalah sektor pariwisata. Devisa Bali per tahun dari sektor pariwisata kisaran Rp 120 hingga Rp 130 triliun. Sementara yang dikembalikan lagi melalui dana transfer hanya Rp 1 triliun dalam bentuk DAU/DAK dan ke kabupaten/kota Rp 1 triliun.

“Kalau itu dipresentasekan hanya sekitar 8 persen dari kontribusi devisa sektor pariwisata Bali,” terang Suamba Negara kemudian melempar pertanyaan kepada para narasumber tentang urgensi revisi UU 33/2004 dan pariwisata agar menjadi objek dana bagi hasil di revisi UU ini.

SDA Immaterial, Pariwisata Didorong Jadi Objek Dana Bagi Hasil

Narasumber pertama Prof.Dr.Wayan Ramantha,S.E.,M.M,Ak.Ck. (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana) menegaskan pentingnya revisi UU 33/2004. Ia lantas menyampaikan pemikirannya mengenai perlunya perluasan makna sumber daya alam dalam revisi UU ini. “Tambah pengertian sumber daya alam dengan memasukkan sumber daya alam non material/non fisik ini seperti keramahtamahan masyarakat dan budaya,” katanya.

Ia menegaskan pembagian dana bagi hasil jangan semata-mata berorientasi pada sumber daya alam fisik tapi ada potensi sumber daya non fisik yang berupa adat istiadat, keramahtamahan masyarakat Bali, budaya Bali dan brand Bali yang menjadi penopang parwisata Bali harus menjadi bagian dari perhitungan dana bagi hasil ini.

Nantinya dana bagi hasil yang diperoleh Bali bisa digunakan sebagai reinvestasi untuk menjaga, merawat dan melestarikan budaya Bali dan alam Bali. Sebab budaya dan alam Bali telah lama tereksploitasi. Kalau ini tidak dirawat, orang Bali secara tidak sengaja akan meninggalkan budayanya yang pada akhirnya pariwisata budaya Bali terancam.

“Untuk menjaga, merawat dan melestarikan budaya Bali dan alam Bali kan butuh duitnya. Maka duitnya itu harus kita bisa dapatkan dari dana bagi hasil ini,” terang Prof Ramantha.

Tuntut Hak Bali, Bukan Belas Kasihan Pusat

Selanjutnya narasumber kedua Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa, S.H,.M.H.,(Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana) mengkaji dari sisi hukum atau yuridis untuk menjawab pertanyaan “Mungkinkah kita bisa menjadikan objek pariwisata sebagai objek dana bagi hasil?”

Ia menerangkan selama dana perimbangan yang diterima bagi dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) maupun transfer daerah belum cukup bagi Bali. Karena itu tidak memberikan jaminan kepastian hak misalnya menyangkut berapa besaran dana itu yang bisa dituntut Bali.

Beda halnya dengan dana bagi hasil  dari sumber daya alam yang dalam UU 33/2004 sudah ditentukan persentasenya. Sedangkan Bali sendiri tidak punya pendapatan sumber daya alam yang bisa dijadikan objek dana bagi hasil itu karena Bali pendapatannnya lebih banyak dari sektor pariwisata.

“Apakah cukup DAU, DAK, dan transfer daerah? Dari sisi hukum belum menjamin. Harus diatur lebih dulu. Jadi saat kita punya hak kita boleh menuntut. Karenanya sektor pariwisata bisa dijadikan objek dana bagi hasil Pemerintah Pusat ke Daerah. Ini yang harus diperjuangkan agar masuk dalam revisi UU 33/2004,” terang Arya Sumertayasa.

“Tapi kalau pemberian pemerintah pusat itu kan sukarela, bisa juga karena ada kepentingan, tidak ada dasar hukumnya, susah menggugat persentasenya,” imbuhnya sembari menyatakan dukunganya terhadap urgensi revisi UU 33/2004 ini.

Butuh Biaya Rawat Budaya dan Alam Bali Penopang Pariwisata

Narasumber ketiga, Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, M.Si., (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana) juga memandang sumber daya pariwista menjadi objek dana bagi hasil dalam revisi UU 33/2004 ini. Ia pun sependapat dengan Prof Ramantha agar dana bagi hasil dari sektor pariwisata yang diperoleh Bali agar digunakan sebagai reinvestasi untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam, sosial, budaya dan adat istiadat Bali.

Dikatakan pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan (alam, sosial, budaya dan adat istiadat). Disadari pariwisata sebagai penghasil devisa utama bagi Bali. Alam, sosial, budaya dan adat istiadat Bali sebagai potensi dan daya tarik pariwisata.

Sebagai potensi dan daya tarik pariwisata, papar Sunarta, alam, sosial, budaya dan adat istiadat Bali dianggap gratis sehingga dapat diperlakukan seenaknya bahkan dieksploitasi, sampai pada akhirnya merusak pariwisata itu sendiri. Alam, sosial, budaya, adat istiadat Bali harus dijaga agar selalu dalam kondisi baik sehingga pembangunan di Bali umumnya dan pariwisata khususnya dapat berkelanjutan.

“Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mencapainya, kalau dibebankan kepada pariwisata. Pariwisata akan membutuhkan alokasi biaya tambahan untuk melindungi potensinya agar devisa yang dihasilkan dapat berkelanjutan,” terang Sunarta.

Wakil Ketua DPR RI Dukung Perjuangan Bali

Wakil Ketua DPR RI Dr. H. Azis Syamsuddin S.E., S.H., M.A.F, M.H., mengapresiasi webinar yang diselenggarakan Golkar Bali yang terdepan menggali dan memberikan masukan komprehensif dan kajian melibatkan para pakar untuk mendukung revisi UU 33/2004 ini.

Bagi DPR RI webinar ini dapat memberikan masukan yang penting dan berharga mengenai proses revisi UU 33/2004 yang nantinya akan bergulir setelah daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2021 di DPR RI dengan nama Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (dalam Prolegnas 2020-2024 tertulis: Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).

“Kami minta masukan sebagai bahan kami di DPR RI nanti melakukan pembahasan revisi UU 33/2004 ini. Terima kasih Ketua Golkar telah menggelar webinar ini dan meberikan kesempatan sharing,” kata Azis Syamsuddin yang juga Wakil Ketua Umum Golkar ini.

Ia mengakui bahwa UU 33/2004 tidak membagi proses pembagian distribusi keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam sektor immaterial seperti pariwisata. “Saya sependapat perlu ada perhatian bagi daerah-daerah seperti Yogyakarta, Bali dan daerah-daerah wisata lainnya yang daerahnya tidak masuk dalam pembangian dana dari sumber daya alam. Tentu ini menjadi bagian subsidi silang dan kami menunggu,” ujar Azis Syamsuddin.

“Nanti dari hasil diskusi ini poin-poin untuk menjadi bahan bagi pemerintah dan parlemen untuk membahas dari sisi pengkajian naskah akademis maupan Rancangan Undang-Undangnya dalam pembentukan Daftar Inventarisasi Masalah yang akan dibahas di parlemen. Saya menyambut baik dan sepakat mendukung proses ini dalam rangka pembagian kontribusi pendapatan pemerintah pusat dan daerah,” paparnya lebih lanjut.

Perjuangkan Hak dan Masa Depan Bali dengan Regulasi

Sementara itu Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nyoman Sugawa Korry,S.E.,M.M.,Ak.,CA.,mengungkapkan telah banyak masukan dan kajian bernas yang diberikan dalam webinar ini baik dari para narasumber maupun peserta webinar.

“Masukan sudah lengkap dan peserta webinar merespon diskusi secara intensif. Semua stakeholder di Bali setuju revisi UU 33/2004 dan ini jadi perhatian bersama masyarakat Bali,” terang Sugawa Korry.

Ia menegaskan Golkar Bali totalitas berjuang untuk masa depan Bali melalui mendorong dan mendukung revisi UU 33/2004 agar sektor parwisata bisa menjadi objek dana bagi hasil. “Mari kita berjuang melalui regulasi untuk mendapatkan kepastian hukum dan mendapatkan apa yang menjadi hak masyarakat Bali sehingga ada dana bagi hasil dari sektor pariwisata,” tegas Wakil Ketua DPRD Bali ini.

Sementara itu hasil dari webinar ini nanti akan dirumuskan menjadi sebuah buku yang kemudian akan dibedah kembali oleh para pakar untuk disempurnakan. Selanjutnya buku final mengenai pemikiran dan masukan tentang revisi UU 33/2004 ini akan diserakan kepada pihak terkait mulai dari kepada Gubernur Bali, DPRD Bali, Anggota DPR RI dan DPD RI Dapil Bali, Ketua DPR RI, Asosiasi Pimpinan DPRD se-Indonesia, Ketua DPD Partai Golkar se-Indonesia, Ketua Umum Partai Golkar dan pihak terkait lainnya.

“Saat Pansus di DPR RI sudah dibentuk untuk membahas revisi UU 33/2004 ini, kami akan serahkan langsung buku hasil webinar ini. pungkas Sugawa Korry. (wid)