Denpasar (Metrobali.com)-

Masyarakat kepulauan Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka secara sosial budaya terdiri atas berbagai etnik dengan budaya dan tradisi masing-masing.

Tradisi itu diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga Nusantara dikenal sebagai masyarakat plural, yang terdiri atas berbagai suku bangsa, etnik, kelompok masyarakat dengan tradisi budaya mempunyai kekuatan (kerajaan) sesuai wilayah kekuasaannya.

Dari segi sosial kemasyarakatan tampak, bahwa masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok kekuatan yang satu sama lain dapat berintegrasi. Sifat kemajemukan itu secara horizontal dapat dilihat masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnik dan suku bangsa, tutur Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia. MS.

Prof Windia yang Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali menjelaskan kondisi demikian itu menjadi semakin kokoh dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai pita yang dicengkram kedua kaki Burung Garuda, lambang negara RI.

Sejumlah 17 huruf dalam tiga kata itu, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya, merupakan hasil karya gemilang Mpu Tantular.

Pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Kerajaan Majapahit di ranah Jawa tersebut, mengarang buku kekawin Sutasoma: Pancasila-Bhineka Tunggal Ika, isinya tetap relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan kemajuan iptek yang pesat di era global.

Karya besar itu, lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa. Konsep dan formulasi Bhineka Tunggal Ika hasil buah pikiran gemilang Mpu Tantular yang dicetuskan, dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu) Purusadasanta atau kini lebih populer kekawin Sutasoma.

Dalam perjalanan sejarah semuanya dapat berhubungan dan menumbuhkan satu ikatan yang berdampak pada penyesuaian satu sama lain. Pertemuan antarkelompok itu menimbulkan satu pemahaman, yakni untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, sekaligus mampu mengatasi konflik yang terjadi.

Hal itu memberikan inspirasi kepada pemimpin bangsa yang kemudian muncul filosofis Bhineka Tunggal Ika. Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia diharapkan dapat menjadi landasan filosofis dan dasar Indonesia merdeka.

Pemikiran tentang landasan dasar Pancasila sebagai dasar negara dicetuskan pertama kali oleh Ir Soekarno 1 Juni 1945. Kelima butir-butir Pancasila mencerminkan keadaan atau potensi sosial budaya Indonesia.

Kelima butir Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia seharusnya mampu dipahami secara dinamis dan dilaksanakan secara seimbang oleh seluruh bangsa Indonesia.

Hal itu penting ditekankan, mengingat dalam praktek Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak seimbang, sehingga perlu adanya kontral satu sama lain, termasuk di tingkat pimpinan oleh masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Monumen Bangsal Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jeneral TNI (Purn) Tyasno Sudarto akan mendeklarasikan pembentukan gerakan nasional pembudayaan Pancasila (GNPP) Provinsi Bali, 15 Agustus 2013.

Pendeklarasi itu akan dilaksanakan di Monumen Perjuangan Bangsal di kawasan pertigaan Gaji-Sempidi-Dalung Kabupaten Badung, sekaligus memperingati pertemuan para pejuang di Bali yang dilakukan pada 16 Agustus, 68 tahun yang silam.

Pendeklarasian GNPP Bali yang diketuai I Made Gede Putra Wijaya merupakan salah satu rangkaian menyambut HUT ke-68 Kemerdekaan RI di Bali.

Pendeklarasian GNPP dilatarbelakangi Pancasila digali, disepakati, dan ditetapkan sebagai dasar negara RI, karena diyakini memiliki daya mampu untuk mempersatukan dan menjaga keutuhan NKRI.

Pada saat itu bangsa Indonesia masih sangat muda, nyala api perang dan revolusi kemerdekaan Indonesia masih menyala-nyala. Seluruh kepentingan ditujukan untuk bangsa dan Negara.

“Kepentingan partai, kelompok, golongan, suku, agama, ras, dan juga kepentingan pribadi seolah-olah lenyap, dan diletakkan di bawah kepentingan bangsa dan Negara. Konsep nasionalisme dan patriotisme, masih konsisten berhembus dan berkibar di hati sanubari semua elemen bangsa,” ujar Prof Windia yang juga mantan anggota DPR-RI itu.

Semua elemen bangsa senantiasa ikhlas, setia kawan, bahu-membahu, untuk rela berkorban demi bangsa dan Negara Indonesia. Perjalanan bangsa terus berlanjut dan menghadapi berbagai tantangan zaman. Transformasi budaya terus menerus terjadi. Konsep “idealisme”, telah bertransformasi menjadi konsep “pragmatisme”.

Konsep “ke-ikhlas-an” telah bertransformasi menjadi konsep “kepentingan”. Konsep “setia-kawan” telah bertransformasi menjadi konsep “individualisme”. Konsep berkorban telah bertransformasi menjadi konsep menerima.

Semua itu tampaknya terjadi, karena hati nurani bangsa telah kalah melawan konsep dan nilai yang dibawa oleh arus globalisasi.

Windia menilai, globalisasi mengusung konsep kompetisi yang melahirkan konsep kapitalisme, libralisme, konsumerisme, dan materialisme.

Bangsa Indonesia tampaknya belum siap menghadapi tantangan dan dampak globalisasi yang sangat dahyat. Selain itu bangsa Indonesia tampaknya terlupa dengan jati diri yang memiliki falsafah Pancasila.

Pancasila tidak dijalankan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dijalankan sebagai pengamalan Pancasila.

Jika hal itu terus berlanjut mengandung sesuatu yang bahaya bagi masa depan bangsa. Sebuah bangsa yang dulu dibangun dengan tetesan darah, dan berbagai pengorbanan lahir bathin, oleh para pendiri bangsa.

Untuk itu perlu kesadaran tentang jati diri bangsa, yang mendapat warisan pusaka dasar Negara Pancasila, harus kembali dikobarkan dan hal itu dirintis mulai dari Bali, tutur Prof Windia yang juga dewan pembina (GNPP). Sutika/Ant