Oleh Nanien Yuniar

Jakarta, (Metrobali.com)

Ruang gerak seniman tari yang biasa berekspresi lewat pentas di hadapan penonton menjadi sangat terbatas. Panggung pertunjukan yang mewarnai agenda kegiatan di Tanah Air maupun mancanegara dibatalkan atau ditunda demi memutus rantai penyebaran virus corona. Namun, meski terkungkung pandemi, ide-ide kreatif terus mengalir, upaya mencari asa demi bertahan di masa pandemi.

Sembilan tahun belakangan, penari kontemporer dan koreografer Boby Ari Setiawan sering mondar-mandir ke luar negeri untuk urusan kesenian. Cucu maestro sinden Nyi Supadmi ini mulai ketagihan menimba ilmu tari lewat lokakarya di penjuru dunia sejak diundang ke Jepang untuk mementaskan karyanya pada 2004.

Masih teringat jelas di ingatan Boby pengalaman tak terlupakan ketika menjadi siswa pertukaran di New York pada 2007. Boby yang biasanya belajar tari tradisi ikut berpartisipasi di kelas balet internasional. Di saat murid-murid lain sudah siap memakai sepatu pointe dan kostum balet yang memeluk lekuk tubuh, dia datang memakai celana gombrong dan kaos kaki. Murid-murid di kelas itu tak kesulitan mengikuti instruksi

“Tapi ini berkesan banget, sepulang dari situ wawasanku terbuka, ternyata banyak sekali yang harus dipelajari,” Boby tertawa saat menceritakan kisahnya di Broadway.

Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan koreografi ini melanjutkan petualangannya untuk menimba ilmu dan berkolaborasi dengan seniman lain di berbagai negara di dunia. Dia pernah berkolaborasi dengan Leine Roebana Dance Company dari Amsterdam hingga jadi perwakilan koreografer Indonesia di American Dance Festival 2015.

Sebelum wabah virus corona merebak tahun 2020, dia mengerjakan sebuah proyek bersama Century Contemporary Dance Company di Taiwan. Sepulangnya Boby dari Taiwan untuk berlatih pada Januari 2020, virus corona membuat dunia gempar. Seluruh rencananya ditunda atau dibatalkan.

Seniman asal Solo yang sering tampil di ibu kota ini akhirnya menetap di kampung halaman selama hampir satu tahun. Sebulan pertama pandemi, koreografer yang membentuk kelompok tari Independent Expression masih membaca situasi dan tidak menjalani aktivitas kesenian apa pun. Lama-lama dia merasa gerah karena tidak berkarya. Mengikuti apa yang dilakukan temannya, penari dan koreografer Siko Setyanto, Boby memutuskan untuk membuat kelas tari virtual.

“Dari pengalaman dia, aku ngobrol, terus dia kasih masukan kayaknya kita harus buka jaringan buat berani bikin kelas online,” kata Boby.

Belajar tari lazimnya dilakukan dalam kelas di mana murid bisa bertatap langsung dengan guru, melihat jelas gerakan-gerakan yang harus dipelajari. Interaksi langsung adalah hal penting dalam kelas menari. Tentu wajar bila Boby merasa membuka kelas tari dalam bentuk virtual bukan hal mudah. Apalagi saat itu semua orang masih beradaptasi mencari metode baru untuk tetap terhubung tanpa harus menginjakkan kaki ke luar rumah.

Berhadapan dengan murid lewat layar komputer membuatnya sulit untuk mengoreksi gerakan-gerakan seperti ketika berada di kelas konvensional. Baik murid dan guru sama-sama beradaptasi dalam melewati proses belajar tari yang unik. Tapi sisi positif dari kelas-kelas daring adalah cakupan yang luas, menjangkau hingga ke penjuru dunia selama ada jaringan Internet.

“Yang biasanya aku kasih workshop-nya ke Taiwan, ke Singapura, itu akhirnya kita negosiasi untuk dilakukan secara online. Terus aku juga kemudian saling bantu antarteman. Kalau misalnya aku punya teman ada di Belanda gitu, dia ada kelas online, kita sharing, exchange instruktur,” jelas penari kelahiran Klaten, 18 Januari 1983.

Kelasnya bisa diikuti oleh masyarakat umum, termasuk kalangan yang bukan penari. Macam-macam yang dia ajarkan. Olah tubuh, kelas tari tradisi, tari kontemporer hingga tari sebagai terapi penyembuhan. Membuat kelas virtual adalah caranya beradaptasi di tengah pemasukan yang berkurang drastis karena pertunjukan belum boleh diselenggarakan.

Dari sisi pemasukan, jelas masih belum bisa menyamai kondisi sebelum pagebluk. Tapi dia tidak patah arang. Semangat untuk berkarya masih berkobar. Festival tari virtual yang diselenggarakan di luar negeri juga memberinya kesempatan untuk berkarya meski di rumah saja.

“Sebenarnya untuk seniman kalau tidak ngapa-ngapain ide dan segala macamnya itu jadi tumpul, enggak tersalurkan,” kata Boby yang menciptakan karya berjudul “Di Balik Gorden”, buah kreativitas selama berdiam diri di dalam rumah.

Program seperti Pekan Kebudayaan Nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, menjadi ajang untuk melepaskan rasa dahaga berkesenian. Sepanjang akhir Oktober hingga November 2020, sebanyak 4.791 seniman dan pekerja seni terlibat dalam perhelatan kebudayaan tradisi daring. Para seniman juga turut meramaikan konten saluran YouTube Budaya Saya dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sejak akhir 2020, penari yang aktif sebagai pelatih yoga itu pergi ke Jakarta untuk menjadi bagian dari pertunjukan musik dan visual yang melibatkan Dedy Lutan Dance Company (DLDC) tempatnya bernaung. Kini dia menetap sementara di Jakarta sambil membuka kesempatan kelas privat dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Tahun ini, Boby akan berkolaborasi sebagai koreografer dengan penari Taiwan. Dia membuat koreografi untuk sang penari yang pentas di Taiwan pada Juni mendatang. Latihan akan dilangsungkan secara virtual dari tempat masing-masing.

“Tariannya itu sebenarnya pengalaman si penari itu menghadapi pandemi, kemudian pengalamanku menghadapi pandemi dalam konteks ketubuhan. Jadi, bagaimana kemudian tubuh ini merespons apapun itu secara virtual.”

Hikmah pandemi

Sama seperti murid-murid di bangku SD, SMP atau SMA, mahasiswa di perguruan tinggi juga mengalami masa-masa belajar dari rumah. Interaksi dengan guru di ruang kelas kini diganti dengan metode daring, di mana wajah kawan-kawan terpampang lewat kotak-kotak kecil di aplikasi konferensi video. Metode ini lebih menantang untuk Razan Wirjosandjojo, mahasiswa studi tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ada hal-hal saat praktik di kelas konvensional yang tidak bisa digantikan lewat kelas virtual.

“Banyak detail yang sulit untuk dilihat ketika itu hanya lewat video. Dan tidak hanya terjadi di perkuliahan, di pertunjukan pun akhirnya perlu menyiasiati itu,” kata Razan yang juga jadi asisten pengajar di Studio Plesungan, Karanganyar.

Dia bersyukur tidak terkendala urusan teknis, seperti masalah koneksi internet atau ruangan yang kurang mumpuni untuk praktik, saat belajar dari rumah karena selama ini bermukim di Studio Plesungan.

Seni tari yang biasa dinikmati secara langsung kini harus bisa ditonton lewat video sebagai bentuk adaptasi. Tapi di sisi lain ada sisi positif yang bisa diambil, seperti jangkauan penonton yang lebih luas. Dari sisi seniman, mau tidak mau dia dituntut untuk kreatif agar bisa menyajikan presentasi yang tidak membosankan. Faktor teknis seperti pemilihan angle sehingga penonton yang tidak melihat secara langsung bisa tetap terhibur.

Penari yang pernah jadi bagian produksi Melati Suryodarmo, Rianto hingga Lee Mingwei kini masih mengerjakan proyek-proyek meski kuantitasnya berkurang dibandingkan sebelum pandemi. Hikmah di balik pandemi untuknya adalah bisa mendalami dunia tari yang ia cintai melalui cara lain, seperti membaca buku yang mempengaruhi pola pikir, dan pada akhirnya mempengaruhi caranya menari. Dia memanfaatkan waktu luang untuk semakin memahami filsasat dan kebudayaan Jawa secara utuh untuk mengasah kemampuan menari Jawa.

“Kesenian kita tidak seutuhnya ditopang dengan aktivitas-aktivitas yang melibatkan tubuh secara langsung, tapi juga banyak proses berpikir, banyak proses refleksi, banyak proses menganalisis kembali apa yang sudah kita lakukan,” tutur penari penari di konser virtual LEXICON+ Isyana Sarasvati.

Dia menuturkan, terbatasnya ruang gerak untuk berkarya membuat sebagian rekan-rekannya di bidang seni juga mencari sumber pemasukan lain. Ada juga rekan-rekan yang mendapatkan bantuan dana dari pemerintah.

Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan bantuan lewat program Apresiasi Pelaku Budaya (APB) dengan nominal Rp1 juta per orang. Besarannya memang relatif tidak besar, tapi bantuan itu diharap bisa membantu geliat aktivitas seni dan budaya agar tetap berjalan

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya program lain untuk membantu pelaku seni dan budaya yang terdampak pandemi, yakni Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK). Dana sekitar Rp80 miliar dikucurkan untuk perseorangan maupun kelompok dalam membantu membuat film, karya, lokakarya hingga festival.

Koordinator Humas dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Darmawati, mengatakan tahun ini ada skema baru di mana fasilitasi bersifat stimulan. Komunitas yang ingin membuat program harus membuat pengumuman kepada publik, misalnya lewat media sosial.

Nantinya, Ditjen Kebudayaan akan memberikan dana stimulan yang mencakup setengah dana yang dibutuhkan. Sisanya mesti didapatkan dari urun dana. Dia menambahkan, bila ada daerah yang membutuhkan dana untuk mengadakan acara kebudayaan, Ditjen Kebudayaan dapat membantu menghubungi tokoh-tokoh dari daerah tersebut agar bisa menjadi donatur.

Ditjen Kebudayaan juga sedang menyiapkan medium baru berisi tayangan kebudayaan yang rencananya dirilis April mendatang. Bentuknya masih dipersiapkan, entah berbasis website atau serupa aplikasi platform streaming.

“Masih dalam persiapan untuk itu, isinya semuanya adalah konten kebudayaan Indonesia dalam berbagai program, ada yang bentuknya mengulas kebudayaan, pekerja budaya, mengulas cagar budaya, macam-macam,” kata Darmawati.

​​​​​​​Tentunya butuh proses sampai pandemi betul-betul berlalu, sehingga manusia harus terus beradaptasi dengan saling membantu agar bisa melewatinya bersama-sama. “Semoga semuanya bersinergi dalam situasi ini hingga terlewati bersama,” tutup Boby. (Antara)