Calon Wakil Gubernur Bali nomor urut 1, Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) saat  berkunjung ke lokasi di sela kampanye di Kabupaten Bangli, Minggu (25/3).

Bangli (Metrobali.com)-

Tak dapat dipungkiri jika salah satu keunggulan Kabupaten Bangli adalah produksi kopi Kintamani yang sudah terkenal ke seantero negeri. Tak hanya di dalam negeri, kopi Kintamani juga terkenal hingga ke mancanegara. Hanya saja, produksi olahan kopi belum dimaksimalkan menjadi pemasukan bagi daerah. Setidaknya hal itu yang disampaikan oleh pengelola pabrik pengolahan kopi Arabika Mengani, Hendarto Setyobudi saat bertemu calon Wakil Gubernur Bali nomor urut 1, Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang berkunjung ke lokasi di sela kampanye di Kabupaten Bangli.

Menurut Hendarto, sudah sepatutnya desa-desa di Bangli diberdayakan untuk menjadi motor penggerak induatri kopi di Bali. Ia memaparkan, dengan jumlah penduduk Bali sebanyak 4,2 juta ditambah jumlah wisatawan mancanegara dan domestik yang tiap hari ke Bali sebanyak 38 ribu orang, kopi seharusnya menjadi industri unggulan yang memberi sumbangsih besar bagi Bali dan masyarakatnya.

“38 ribu wisatawan itu rata-rata lama tinggalnya adalah tiga hari. Kita ambil saja 20 persen dari 38 ribu itu meminum kopi. Maka, diperlukan sekitar 8,5 ton kopi setiap harinya. Dalam setahun kebutuhan kopi di Bali adalah 3.800 ton,” papar Hendarto, Senin 25 Maret 2018.

Yang mencengangkan, Hendarto menyebut sesungguhnya Bali kekurangan kopi. Ia membandingkan dengan jumlah kamar di Bali sebanyak 130 ribu. Untuk kebutuhan 15 orang turis diperlukan 150 gram kopi seduh. “Sebulan berarti 19 ton dan setahun 7.200 ton yang dibutuhkan di Bali,” katanya.

Setiap tahun, dihasilkan sekitar 10.300 ton kopi dengan rincian 30 persen kopi jenis Arabica dan 70 persen Robusta. Jika kopi jenis Arabica dibanderol seharga Rp5 ribu per kilogram, maka jumlahnya mencapai Rp115 miliar. Sementara untuk jenis kopi Robusta jika dijual seharga Rp4 ribu per kilogram saja maka akan menghasilkan Rp169 miliar. “Totalnya 285 miliar. Luar biasa uang yang berputar di industri kopi ini. Dalam catatan kami, total perdagangan kopi tiap tahun Rp1,6 triliun dari perkebunan, pengolahan hingga ke hilir. Itu belum ditambah kafe dan lainnya yang punya nilai lebih lagi bisa jadi nilainya mencapai Rp2 triliun,” jelas dia.

Dengan total luas lahan perkebunan kopi di Bali 34 ribu hektar, maka tiap tahun Bali mampu memproduksi 15 ribu ton kopi. “Total petani 57.199 KK menanam kopi jenis Robusta, 16.642 KK kopi jenis Arabika. Sekitar 70 ribu KK hidupnya tergantung dari kopi,” ujarnya. Hanya saja, belum juga kebutuhan kopi di Bali terpenuhi, sudah banyak yang dijual ke luar Bali. Sialnya, begitu kopi Bali diproduksi di berbagai daerah dan menjadi kopi siap saji, maka produk tersebut kembali dipasarkan di Bali dengan harga yang sudah barang tentu melambung tinggi. Alih-alih mengalami peningkatan produksi, sejak tahun 2016 hingga kini produksi kopi justru megalami kemerosotan drastis.

“Tahun 2017 kita harapkan terjadi peningkatan, tetapi merosot jauh dari tahun 2016. Tahun ini juga sepertinya akan merosot lagi. Persoalan yang muncul konversi dari lahan kopi menjadi kebun jeruk atau vila. Kedua, pemeliharaan petani yang relatif rendah. Pemeliharaan dan pemangkasan kopi itu kuncinya industri kopi. Belum lagi ditambah separuh produksi Bali mengalir ke Jawa dalam bentuk gelondong basah,” tuturnya.

Ia berharap jika terpilih kelak mendampingi Wayan Koster sebagai Gubernur Bali, Cok Ace bisa memberikan perhatian terhadap persoalan yang dihadapi petani dan pelaku industri kopi. Bahkan, ia meminta kepada pemerintah untuk turut serta memperhatikan dari hulu hingga hilir. “Kami mohon agar nantinya mendapat perhatian yang lebih komprehensif, di mana sebetulnya industri kopi ini sudah sampai pada titik merah dari sudut produksi, karena terjadi penurunan drastis. Mohon diperhatikan ke depannya karena industri kopi punya potensi luar biasa dari segi pendapatan,” harap Hendarto sembari mengatakan perusahaannya sudah mengimpor kopi sejak tahun 1825 silam itu.

Menjawab hal itu, Cok Ace menilai ada mata rantai yang terputus sehingga masyarakat yang berkecimpung di industri kopi seakan tidak dapat menikmati kesejahteraan yang seharusnya mereka rasakan. “Sekarsang ini padahal usahanya sudah bagus. Tapi kelihatannya ada mata rantai yang terputus. Padahal secara market dan geografis ini amat mendukung. Tetapi masyarakat tidak merasakan kesejahteraan dari industri ini,” ujar Cok Ace. Ke depan, Cok Ace memiliki gagasan agar Bangli dan daerah penghasil kopi lainnya tak hanya dikembangkan menjadi produsen saja, melainkan disinergikan dengan sektor pariwisata. Ia mencontohkan Kota Batu di Kabupaten Malang yang sukses memadukan keduanya.

Paket yang diusung PDI Perjuangan, Hanura, PAN, PPP, PKPI dan PKB itu ingin hal itu bisa diterapkan di Bali, khususnya di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, Bangli. “Dia bisa dikembangkan menjadi destinasi. Nanti kita koneksitaskan dengan daerah-daerah lain, sehingga menjadi satu kesatuan paket wilayah dalam konteks pariwisata Bali. Tidak hanya sebagai penghasil kopi, tetapi juga sebagai destinasi,” tegas dia.

“Bayangkan kalau orang datang ke sini, ngopi di sini, tempatnya indah. Yang perlu dilakukan juga memperbaiki infrastrukturnya agar mudah dijangkau dan terus dipromosikan agar oran tahu dan datang ke sini,” demikian Cok Ace.

Editor   : Nyoman Sutiawan