DENPASAR (Metrobali.com)-

Tiga Majelis Hakim saat mengadili perkara pidana di Pengadilan Negeri Gianyar dilaporkan ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung pada Senin (13/9/2021).

Ketiga Majelis Hakim tersebut, yakni Putu Gde Hariadi SH, MH, Ewrin Harlond Palyama SH,MH dan Dr. I Nyoman Agus Hermawan, SH, MH.

Pelaporan dilakukan oleh Gendo Law Office (GLO) terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh majelis hakim dalam perkara Nomor 62/Pid.B/2021/PN.Gin.

“Kami menemukan tindakan majelis hakim yang tidak adil dan bijaksana. Seolah-olah ini pengadilan sesat,” ujar Wayan Gendo Suardana saat gelar konferensi pers di Denpasar.

Gendo menjelaskan, laporan dilakukan mengingat tindakan hakim saat persidangan dalam perkara yang ditangani, yakni kasus dugaan penggelapan yang menimpa kliennya terhadap perusahaan tempat ia bekerja senilai Rp. 3,1 Millar. Tindakan tersebut berupa; Majelis Hakim bertindak tidak adil, bertindak tidak arif dan tidak bijaksana, bertindak tidak profesional saat memeriksa, mengadili dan memutus perkara Kliennya.

Kliennya atau terdakwa bernama John Winkel merupakan seorang Direktur Utama sekaligus pemegang saham (pendiri) di perusahaan PT. Mitra Prodin. Ia juga pendiri perusahaan bergerak dibidang kertas rokok. Namun kini ia dilaporkan oleh komisaris di perusahaan tersebut, yakni Antony Rhodes.

Kasus ini sejatinya terkait hutang piutang (kasbon) yang terjadi tahun 2016-2019. Namun, kemudian berujung pada pelaporan di kepolisian hingga di meja hijaukan sejak awal tahun 2021 di PN Gianyar .

Dalam proses persidangan, Gendo melihat mulai dari proses sidang hingga putusan pada 16 Agustus 2021 lalu banyak hal yang mencederai asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terutama dalam proses pembuktian; pemeriksaan bukti-bukti dan saksi.

Pertama, terkait status kewarganegaraan pelapor. Dimana, pihak GLO mendapatkan dokumen bahwa pelapor diduga berkewarganegaraan ganda, hakim menyatakan hal itu tidak relevan, kami keberatan, tapi ternyata dalam putusan keberatan tidak dimuat

“Ketua Majelis Hakim  menganggap permintaan Kami tidak relevan dengan kasus. Kami minta dicatat dalam keberatan, jarena identitas saksi seharusnya diperiksa tapi nyatanya tidak ditulis juga,” ucap Gendo.

Kedua, lanjut Gendo, Hakim kembali bersikap tidak adil, tidak arif dan tidak bijaksana dengan melarang Gendo menunjukan bukti-bukti surat saat memeriksa saksi-saksi termasuk saksi korban. ketua Majelis Hakim melarang Penasehat Hukum saat akan menunjukan bukti-bukti penting, yang menjadi bukti kunci membebaskan Terdakwa namun Ketua Majelis hakim malah melarangnya. Bukti penting tersebut seperti percakapan berupa email antara saksi korban dan terdakwa yang menjelaskan bahwa Terdakwa diminta Perusahaan mengembalikan hutang sebesar 2,6 milyar rupiah dan sudah disetujui saksi korban, termasuk  juga banyak bukti  lainnya yang terkait kasus yang dituduhkan ke klien Gendo.

“Saat mau menunjukkan bukti percakapan, hakim bilang tidak boleh dan diminta untuk menunjukkan kepada saksi yang meringankan. Percakapan khusus di email maupun whatsapp hanya diketahui berdua antara Terdakwa dengan Saksi Korban. Hal ini tentu melemahkan posisi terdakwa. Kami merasa Majelis Hakim sudah menghambat penggalian kebenaran materiil dalam persidangan,” sebutnya.

Demikian juga saat Saksi memberatkan yakni; Finacial Controller  diperiksa di depan sidang, yang notabene yang merekapitulasi  utang Terdakwa sesuai  catatan keuangan perusahaan. Saksi adalah orang yang mengetahui informasi terkait  jumlah hutang yang harus dibayar oleh  terdakwa, yakni: 2,6 Milyar rupiah. Di depan sidang,  Saksi menyatakan tidak ingat percakapan di email tersebut. Gendo mau crosscheck dengan bukti surat dengan menunjukan bukti percakapan email, namun Ketua Majelis Hakim melarang dan menyuruh Gendo menanyakan kepada saksi yang didatangkan pada agenda pemeriksaan saksi meringankan.

“Alasan Ketua Majelis Hakim tidak masuk akal, bagaimana mungkin percakapan email antara Terdakwa dengan Saksi Financial Controller yang bersifat private, disuruh menanyakan kepada Saksi lain  yang  faktanya tidak tahu-menahu mengenai percakapan email itu? Ketua Majelis Halim semena-mena” papar Gendo.

“Tindakan Ketua Majelis Hakim ini adalah tindakan yang dilakukan secara sadar oleh Ketua Majelis Hakim untuk menghambat penggalian kebenaran materil dalam persidangan selain itu tindakan tersebut juga menunjukkan Majelis Hakim telah melanggar asas Fair Trial serta Asas Audi At Alteram Partem”, tegas Gendo.

Ketiga, yang paling fatal adalah saat di putusan tercatat bahwa  ketiga hakim sudah menggelar rapat musyawarah sebelum proses beracara dalam persidangan selesai.

Gendo  menjelaskan kronologisnya. Pada 29 Juli 2021 Jaksa  Penuntut Umum membacakan  tuntutan. Kemudian, pada tanggal 5 Agustus 2021, Gendo dkk membacakan pledoi / pembelaan Terdakwa sebagai tanggapan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Setelah pledoi selesai, Majelis Halim mengagendakan pada tanggal 9 Agustus 2021 dilanjutkan dengan agenda pembacaan replik dari Jaksa Penuntut dan tiga hari kemudian ada duplik dari Penasehat hukum Terdakwa.

Parahnya, dalam  putusannya, Majelis Hakim ternyata telah memutus Terdakwa bersalah dengan menggelar musyawarah terakhi pada 6 Agustus 2021, atau sehari setelah pledoi atas tuntutan jaksa dibacakan dalam persidangan. Artinya Majelis Hakim telah melakukan musyawarah sebelum Replik JPU dan Duplik Penasehat Hukum dibacakan.

“Ini kan artinya hakim sudah melakukan musyawarah untuk menghukum terdakwa sebelum proses replik dan duplik itu atau sebelum pemeriksaan selesai. Ini parah sih,” ungkapnya.

Sidang putusan pun digelar tanggal 16 Agustus 2021 dengan keputusan terdakwa terbukti melanggar pasal 374 KUHP dan  dihukum penjara 1 tahun 4 bulan.

Bagi Gendo, putusan hakim ini merupakan akibat dari tindakan hakim yang diduga melanggar asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terlihat dari pertimbangan hakim dalam putusannya tersebut justru menggunakan kelemahan akibat bukti yang tidak boleh disampaikan oleh Penasehat hukum.

“Kami menunjukkan alat bukti, malah tidak diberikan. Bila diberikan kesempatan oleh hakim, saya pikir hakim tidak akan memberikan putusan bersalah ke klien kami. Kami melihat ada tindakan yang tidak adil untuk membela klien kami,” tegasnya.

Selain itu, ada hal yang aneh dalam putusan Majelis Hakim. Majelis Hakim di dalam putusannya mengakui bahwa  hasil audit dari Akuntan Publik; Ida Ayu Budhananda yang dijadikan bukti utama menuduh Terdakwa  ternyata cacat dan invalid.

Awalnya hasil auditnya menyatakan Terdakwa merugikan perusahaan sejumlah 3.1 milyar rupiah, namun setelah diperiksa di depan sidang saat pemeriksaan akuntan publik, Saksi Ida Ayu Budhananda tidak bisa mengelak bahwa hasil auditnya invalid. Ketidakbenaran hasil audit diakui oleh Saksi saat dicrosscheck di depan sidang. Ada salah penjumlahan,double pencatatan, salah klasifikasi; banyak pengeluaran untuk perusahaan dimasukan sebagai pengeluaran pribadi Terdakwa. Hal ini telah diakui pula oleh Kasir dari Perusahaan bahwa terjadi banyak kecacataan, tidakvalid dalam laporan audit.

Anehnya dalam pertimbangan Hukum majelis Hakim mengakui hasil audit itu cacat tetapi tetap menggunakan audit itu sebagai alat bukti dan menganggap kecacatan itu hanya tentang pengurangan jumlah kerugian. “Bagaimana audit yang diakui cacat tetap digunakan sebagai alat bukti dan hanya digunakan sebagai pertimbangan merugikan? Majelis Hakim bersikukuh kerugian 3.1 Milyar rupiah padahal hasil audit  itu sudah terbukti salah dan cacat sehingga tidak tepat menyatakan perusahaan merugi sejumlah demikian. Logika apa yang digunakan Majelis Hakim sebagai ratio decidendi dalam putusannya? Gendo beruntun mempertanyakannya.

Akhirnya, selain mengajukan banding, Gendo juga melaporkan Makelis Hakim ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Tak hanya itu, laporan juga ditembuskan ke Komnas HAM RI, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.