Keterangan Poto : Pengamat Sosial dan Ekonomi Gede Sudibya
Denpasar, (Metrobali.com)-
Semestinya Covid-19 melahirkan paradigma baru pariwisata, sebagai koreksi total kapitalisme pariwisata yang  materialistik sekuler, untuk penyelamatan peradaban dan kebudayaaan Bali. Jangan-jangan kita gagal paham dalam ” membaca” tanda tanda zaman.
Hal itu dikatakan pengamat Sosial dan Ekonomi Gede Sudibya menanggapi rencana pemerintah mengembangkan dunia pariwisata pasca pandemi Covid-19, Kamis (25/6).
Kapitalisme pariwisata yang meterialistik sekuler itu seperti apa?  “Ya seperti pariwisata kita sekarang ini, dengan ciri berkuasanya kekuatan modal melalui mekanisme pasar yang motif utamanya mencari keuntungan maksimal. Abai atau nyaris abai kepada penyelamatan lingkungan.
Ia mengatakan, model pariwisata yang dikembangkan selama ini adalah biaya sosial yang sangat tinggi bagi krama Bali: individualisme, materialisme yang destruktif terhadap kebersamaan dan solidaritas sosial. Kehidupan yang ukurannya serba benda, dan faktanya nyaris ” memuja ” benda, mirip paham sekularisme ( baca : dalam artian negatif ).
“Dan, realitas sosial ini menjadi kontras, dalam masyarakat yang pada intinya diwarisi, sebut saja dalam bahasa sederhana: sosialisme relegius,” kata Putra Tajun Buleleng ini.
Menurut konsultan pariwisata ini, seharusnya pemerintah fokus mengalokasikan dananya untuk pembasmian pandemi, dan menunda proyek infrastruktur yang tidak urgent.
Yang perlu dilakukan pemerintah yakni
agenda penyelamatan ekonomi yang memerlukan dana yang sangat besar, untuk penundaan pembayaran pokok dan bunga selama 6 bulan saja ( s/d.akhir Desember ), bagi UMKM dengan kredit maksimum Rp.10 milyar.
Di sini, kata dia pemerintah harus menyediakan dana talangan menurut Gubernur BI, sebesar Rp.580 trilliun. Dana talangan ini, belum optimal pencairannya, sudah lebih dari 1 bulan pasca perpu no.1 diterbitkan.
Menurut Gede Sudibya, pencairan segera dana talangan ini sangat diperlukan, untuk mengurangi risiko penutupan perusahaan dan naiknya angka pengangguran yang mengikutinya.
“Semestinya pemerintah lebih fokus pada isu ini, dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur,” katanya seraya menambahkan,  kita belum bicara tentang dana talangan bagi perusahaan dengan kredit di atas Rp.10 milyar.
Ia menjelaskan, pembangunan infrastuktur, salah satunya berdasarkan asumsi: pertumbuhan ekonomi pada pusaran 5% per tahun, sedangkan pasca pandemi, diperkirakan pertumbuhan ekonomi dengan skenari berat menjadi sekitar: 2,7%, dan skenario terberat: minus 0.4 %.
Semestinya, kata dia untuk tujuan efisiensi dana, dimana anggaran negara mengalami ” pendarahan” karena besarnya defisit APBN., proyek infrastuktur di atas semestinya ditinjau ulang. Fokus pendanaan dan kebijakan, diarahkan kepada: pemulihan ekonomi   rakyat yang padat tenaga kerja, untuk mengerem penurunan lebih jauh ekonomi masyarakat akar rumput.
Dikatakan, di masa persiapan New Normal ( dengan asumsi curve pandemi melandai, rasio penularan sama dan atau lebih kecil dari 1, kasus baru covid-19 minimal dari perspektif epidemiologi ), dari perspektif sektor ekonomi, pemulihan lebih difokuskan ke sektor ekonomi yang paling berdampak akibat pamdemi, seperti pariwisata, perdagangan eceran, manufactur, transportasi. Penyelamatan dari dua sisi mata uang yakni pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan kesempatan kerja.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas pertama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.

Untuk merealisasikan target pembangunan infrastruktur, dibutuhkan kerjasama dengan negara-negara sahabat, baik dalam bentuk investasi maupun keahlian/teknologi di bidang konstruksi.

Editor : Nyoman Sutiawan