Denpasar, (Metrobali.com)-

Sudah banyak pengamat mengingatkan semenjak bulan April 2020, kebijakan melawan pandemi semestinya menggunakan strategi perang, sehingga setiap pertempuran melawan virus di seantaro negeri dapat dimenangkan, sehingga perang melawan pandemi dapat dimenangkan. 

Hal itu dikatajan pengamat sosial I Gde Sudibya, Rabu (27/1). Menurutnya, kenyataan yang ditangani pemerintah berbanding terbalik dengan realita di lapangan.

“Faktanya di hari-hari ini jumlah kasus secara nasional sudah melampaui ambang batas psikologis: 1.000.000.–, kasus terkonfirmasi. Dan untuk Bali kasus hariannya  sudah mencapai angka di 542 kasus terkonfirmasi Selasa (26/1),” kata Sudibya. 

Diprediksi oleh kalangan ahli virus, kasus untuk Indonesia dan Bali memasuki masa puncak, di triwulan pertama 2021 ini, yang artinya musuh bersama virus penyebab Covid-19 sudah ada di tengah-tengah kita. 

“Angka possivity rate pada pusaran 30 persen di hari-hari ini, secara statistik menggambarkan pernyataan tadi. Dalam bahasa strategi perang, musuh sudah begitu dekat, celakanya kita tidak dapat melihat kasat mata, karena ukurannya sangat kecil hanya beberapa mikron,” tandas Sudibya.

Ironinya, kata dia kemampuan sumber daya ( teknologi, kapasitas organisasi, kualitas SDM ) untuk melakukan 3 T, instrumen strategi perang untuk bertahan dan menyerang virus sangat terbatas. Karena begini kondisinya, risiko kehidupan begitu tinggi, timbul pertanyaan: bentuk apa semestinya strategi perang yang harus dilakukan?

Dikatakan, mungkin strategi perang hankamrata ( pertahanan keamanan rakyat jelata ), dengan kualifikasi pemimpin yang berani melakukan Puputan ( dalam perspektif sejarah manusia Bali: mempertahankan harga diri dan menyelamatkan kehidupan ). 

“Atau meniru keberanian Satria Bone: Arupalaka, perang habis-habisan dengan gagah berani, at all cost, dengan strategi dalam bahasa sekarang out of the box, yang penting peperangan harus dimenangkan,” kata Sudibya.

Editor : Widana