Oleh Puspa Adnyana

Om swastyastastu
Penantian datangnya Galungan, ketika kecil, sungguh mendebarkan, terutama ketika sudah mendengar ayah akan memotong hewan dan ibu membuat kue, sebulan sebelumnya. Galungan sungguh sebuah kegembiraan yang tidak tergambarkan saat itu. Setiap keberuntungan dan rejeki dikaitkan dengan Galungan atau “Ngegalung”. Sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasa gembira dan senang.

Seseorang yang hidup 40 tahun lalu, lebih, merasakan perayaan Hari Suci Galungan sebagai sesuatu yang sangat berkesan. Mengapa berkesan? Pada saat itu suasana kampung di beberapa desa di Bali masih sangat sederhana. Kesederhanaan itu ditandai dengan: tidak adanya Televisi, HP (dengan literasi giditalnya), masih mengandalkan lampu minyak, tidak tersedia listrik, warung serbaada belum marak paling warung tipat cantok dan cendol bercampur daluman. Hiburan yang utama adalah cerita menjelang tidur dari ayah atau Ibu, dan beruntung yang masih memiliki kakek/nenek. Cerita cerita itu seputar Ramayana, Mahabharata dan cerita rakyat: siap selem, bibi puuh dan lainnya.

Galungan merupakan salah satu hari keagamaan Umat Hindu, khususnya di Bali, dan terbawa di manapun seseorang yang masih menunjung tradisi (drestha Bali). Galungan dimaknai sebagai hari kemenangan dharma (kebaikan, subhakarma) melawan adharma (kejahatan, asubhakarma). Dalam menjelaskan sejarah Galungan selalu dikaitkan dengan Kisah Raja Maya Danawa: yang intinya melarang memuja Tuhan dan hancurkan altar pemujaanNya. Evolusi pemahaman ini kemudian diarahkan pada diri sendiri yang melakoni hidup: seberapa kebaikan yang dilakukan dan seberapa kejahatan yang dilakukan dalam 210 hari yang lewat. Atau menimbang antara subhakarma dan asubhakarma.

Evaluasi atas prilaku diri sendiri membutuhkan kejujuran dan kesungguhan (yoga) untuk dapat menemukan Diri Sejati (Jiwatman) berlandaskan pada keteguhan dalam melaksanakan: (1) tapasya (pengendalian diri, atma jnani), (2) dhanam (kedermawanan, dharmasya moolam arthah), dan (3) yajna (kurban suci, atma prema).
Harapan yang diimpikan oleh setiap Umat Hindu dari perayaan Galungan, tentu saja, hidup yang lebih mapan secara fisik (jagaditha) dan tercapainya kebahagian abadi (mokshartham). Harapan itu sejak dahulu sampai sekarang masih sama, namun faktanya berbeda. Manusia semakin terbelengu oleh kama (kelekatan badan) dan shringara (kenikmatan dan keasyikan). Karena usikan indera indera semakin banyak akibat sikap materialistis yang semakin kuat akibat kemajuan TIK. Karenanya: berita berita kejahatan semakin sering didengar: perbuatan melawan hukum (korupsi, kolusi dan nepotisma), perbuatan yang bertetentangan dengan hidup berkesusilaan semakin banyak di dengar dan lain sebagainya.

Momen Galungan, dengan demikian, sangat tepat dijadikan ruang pendakian spiritual dalam suasana menang. Suasana menang ini merupakan “rasa” yang paling dicari manusia, tidak terkecuali umat Hindu. Dan….Umat Hindu beruntung karena memiliki hari Galungan. Karenanya umat Hindu lebih mudah mencapai cinta selanjutnya: Matri, Bhakti dan Atma Prema.

Semoga semua mahluk berbahagia dan bersahabat.
Om santih santih santih Om