CR_I_Nengah_Muliarta-2

I Nengah Muliarta/MB

DALAM Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) dinyatakan Sumber daya alam terdiri dari tanah,  air, udara dan semua yang terkandung di dalamnya harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu juga dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Frekuensi  merupakan salah satu sumberdaya alam dalam bentuk udara. Dengan bentuknya berupa udara sehingga frekuensi tidak bias dipegang seperti sumber daya alam tambang. Frekuensi berupa gelombang elektromagnetik yang berperan menjadi media penghantar sinyal. Kondisi ini menempatkan frekuensi ibarat seorang gadis cantik yang banyak dilirik dan diminati tetapi tercampakan karena bentuknya yang tidak dapat dipegang dengan tangan.

Masyarakat Bali selama ini juga sering terbelenggu dengan ungkapan bahwa Bali tidak mempunyai sumber daya alam seperti batubara, minyak bumi dan hasil tambang lainnya. Pemikiran tersebut juga menjadi penyebab kegagalan pemerintah Bali untuk mendapatkan dana perimbangan yang lebih dari devisa yang disetor. Harusnya Bali juga mampu memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagian dari penggunaan frekuensi. Terutama dari penggunaan frekuensi oleh lembaga penyiaran. Mengingat selama ini pendapatan non pajak penggunaan frekuensi radio oleh lembaga penyiaran cukup besar.

Apalagi saat ini di Bali terdapat 62 lembaga penyiaran radio dan 23 lembaga penyiaran televisi. Jika satu lembaga penyiaran radio saja membayar ijin penyelenggaran penyiaran mencapai Rp 2,5 juta dan ISR Rp. 2 juta pertahun maka dapat dihitung kontribusi pemasukan dari penggunaan frekuensi. Belum lagi kontribusi dari PPH yang dapat mencapai Rp. 240 juta pertahun dan PPN dapat mencapai Rp. 25 juta pertahun. Khusus untuk televise kontribusi pemasukan dari pajak ISR saja dapat mencapai Rp. 25 juta pertahun.

Frekuensi sebagai sumber daya alam tidak dapat diperlakukan sama dengan sumber daya alam tambang yang dapat di ekspor. Jika sumber daya alam tambang dapat diperdagangakan, tetapi frekuensi tidak dapat diperdagangkan. Namun dalam penggunaan frekuensi perlu pengaturan agar tidak menimbulkan keributan. Frekuensi sebagai sumber daya alam memiliki jumlah yang terbatas. Perlu pemetaan dan penggunaan sesuai dengan perencanaan agar penggunaan frekuensi bermanfaat bagi masyarakat. Penyalahgunaan penggunaan frekuensi dapat berakibat fatal. Sebagai contoh penggunaan frekuensi radio yang tidak sesuai dapat mengganggu komunikasi penerbangan. Gangguan komunikasi radio pada penerbangan dapat berakibat pada kecelakaan penerbangan.

Penyalahgunaan frekuensi oleh lembaga penyiaran juga memberikan dampak yang besar dan buruk. Jika dicermati penggunaan frekuensi oleh lembaga penyiaran, baik radio dan televisi dapat mempengaruhi pola pikir dan prilaku masyarakat. Sebagai sebuah ilustrasi, kesalahan penyebarluasan informasi oleh lembaga penyiaran dapat menyebabkan konflik antar kelompok, suku, Ras dan agama. Kesalahan dalam penggunaan frekuensi dapat menimbulkan perpecahan hingga kehancuran bangsa. Maka dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan dengan tegas bahwa arah penyiaran diarahkan pada upaya menjaga persatuan, menjaga nilai-nilai agama dan kebudayaan.

Penggunaan frekuensi juga harus mampu mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi. Selain itu penggunaan frekuensi dalam penyiaran juga harus mampu mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional. Penggunaan frekuensi dalam penyiaran juga harus member kontribusi dalam upaya penyebarluasan informasi yang benar, seimbang dan bertanggungjawab.

Frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas menjadi incaran para pemodal yang ingin berinvestasi khususnya di bidang penyiaran. Rata-rata pemodal tersebut sebagian besar berasal dari luar Bali. Padahal cukup banyak harapan adanya peran serta pemodal lokal Bali yang berperan dalam pengembangan penyiaran di Bali. Semangat desentralisasi penyiaran pada prinsipnya adalah keterlibatan pemodal lokal dalam membangun penyiaran di daerah. Harapanya adalah adanya keragaman kepemilikan, sehingga penggunaan frekuensi tidak hanya didominasi oleh beberapa orang saja. Dengan adanya keragaman kepemilikan dampaknya adalah keberagaman isi siaran. Jadi opini di masyarakat tidak dibentuk oleh satu media dan masyarakat juga akan mendapatkan informasi yang berimbang.

Penggunaan frekuensi untuk penyiaran harusnya memberi manfaat yang besar pada masyarakat. Pertama, dapat mengurangi pengangguran melalui keterlibatan tenaga kerja yang ada untuk mendukung operasional lembaga penyiaran. Pemberian peluang pengelolaan frekuensi untuk penyiaran radio dan TV sudah seharusnya mampu menyerap tenaga kerja yang ada di daerah setempat. Permasalahanya tidak pada sebatas menyerap tenaga kerja yang ada tetapi juga mendidik tenaga kerja tersebut dalam memahami dunia penyiaran. Pada tahap ini terjadi transfer informasi, pendidikan dan keahlian. Harapanya adalah adanya pemerataan pengetahuan terkait penyiaran dan pengelolaan frekuensi.

Pada sisi lain pemanfaatan frekuensi untuk kegiatan penyiaran juga memberi kontribusi pada pertumbuhan perekonomian. Dalam proses pembangunan sebuah lembaga penyiaran di suatu daerah tentunya terdapat proses investasi. Investasi dari pemodal di bidang penyiaran tentunya akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Investasi tersebut menyangkut penyediaan infrastruktur mulai dari pembangunan kantor, studio siaran dan produksi, hingga pembangunan tower pemancar.

Pemberdayaan frekuensi untuk kegiatan penyiaran salah satunya untuk penyebarluasan informasi. Melalui siarannya lembaga penyiaran memberikan informasi pada masyarakat di wilayah layanan siaran dan jangkauan siaran. Melalui informasi yang disebarluaskan, secara tidak sengaja lembaga penyiaran juga telah mendidik masyarakat. Jadi pemanfaatan sumber daya alam frekuensi tidak saja memberikan keuntungan dari segi ekonomi, tetapi juga keuntungan sosial dan pendidikan. Pemanfaatan frekuensi juga menjadi jalan bagi upaya pelestarian seni dan budaya nusantara. Dimana lembaga penyiaran dapat melakukan pendokumentasian terhadap berbagai seni-budaya yang ada di nusantara khususnya Bali.

Perasalahanya selama ini pemanfaatan sumber daya alam selalu hanya diukur dengan nilai ekonomi. Pengukurannya seakan disamakan dengan cara pengukuran nilai ekonomi sumber daya alam tambang. Padahal cukup banyak nilai kontribusi yang diberikan dari pengelolaan frekuensi yang tidak dapat dinilai secara ekonomi. Seperti penanaman nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai agama, sopan santun dan budi pekerti.

Tantanganya kemudian adalah lembaga penyiaran dalam mengemas program siaran masih sangat tergantung pada rating. Apalagi dalam upaya mengejar rating tidak jarang mutu siaran mengalami penurunan. Pada kondisi seperti ini perlu penguatan pengawasan baik oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun penguatan pengawasan swadaya dari masyarakat. Pengawasan tidak hanya menjadi tanggungjawab KPI tetapi juga menjadi tanggungjawab masyarakat sebagai pemilik frekuensi.

Ke depan perlu dipertimbangkan penguatan KPI, termasuk KPID Bali. Dalam penguatan kelembagaan KPID Bali perlu didukung dengan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta teknologi yang memadai. KPID Bali memerlukan tenaga monitor yang handal dengan jumlah tenaga yang memadai sesuai jumlah lembaga penyiaran yang bersiaran di Bali. Secara teknologi juga diperlukan dukungan peralatan canggih dalam melakukan pemantauan. Apalagi kedepan di era digitalisasi akan lebih banyak lagi lembaga penyiaran yang akan berdiri dan bersiaran di Bali.

Penulis :

I Nengah Muliarta

Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali