Denpasar (Metrobali.com)-

Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) didekarasikan, Minggu (12/2) di Museum Bali. Pendeklarsian itu dihadiri seluruh Majelis Madya Desa Pakaraman ( MMDP) se-Bali. Setelah deklarasi dilakukan penandatanganan di atas kain putih oleh Ida Peranda Sebali Tianyar Arimbawa, tokoh adat, tokoh pemuda seperti KNPI, dan seluruh peserta.

Nampak pula hadir dalam pendeklarasian itu antara lain Ida Peranda Sebali Tianyar Arimbawa, anggota DPRD Bali Cokorda  Gede Kertiasa,  Ketua MMDP Karangasem Wayan Artadipa, dan anggota DPR RI Nyoman Dhamantra, serta seluruh pengurus MMDP seluruh Bali.

Menurut Ketua Panitia Deklarator Ngurah Putra, pembentukan dan pendeklarasian FPHB  atas pertimbangan dan masukan dari masyarakat Bali.  Berbagai pertanyaan mengedepan di media massa  mulai dari keterpinggiran ekonomi rakyat, wabah penyakit, dan kerusakan lingkungan. Selain itu, masalah infrastruktur seperti jalan berlobang, sekolah bocor, puskesmas seadanya juga dipertanyakan masyarakat Bali.

Sementara itu, Made Arimbawa, Bendesa Majelis Madya Desa Pekraman Buleleng, yang sekaligus Panitia Pengarah Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) mengatakan,  pertimbangan lain mengapa FPHB ini dibentuk karena beban biaya adat dan budaya yang kian tinggi, serta  berbagai persoalan infrastruktur lainnya, berkaitan dengan ketidakmampuan provinsi, atau kabupaten/kota dalam melakukan pembiayaan.  “Hal ini perlu mendapat pemecahan secara sistematis, dan bukan sekedar belas kasihan dalam berbagai bentuk dana bantuan sosial,’’ katanya.

Sementara AA. Sudiana, selaku Ketua FPHB mengatakan,  perjuangan teman-teman DPRD Bali dan DPD, serta DPR di pusat  juga patut kita hargai. “Paling tidak para anggota DPR dan DPRD telah memperjuangkan dana untuk bantuan sosial kemasyarakat yang sumber dananya dari departemen departemen terkait. Akan tetapi, jumlahnya tidak banyak, dan akan menghadapi kendala dengan diberlakukannya Permen Mendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Penyusunan APBD,’’ katanya.

Untuk memperjuangkan hak Bali di pusat, terutama terkait dengan beban budaya yang menyangga  pariwisata, memang tidak mudah. Harus melalui jalan berliku. “Paling tidak harus meninjau keberadaan Undang-undang tentang Provinsi Bali, dan diikuti dengan review atau perubahan atas UU No. 33 Tahun 2004, dan mendukung penuntasan bahasan atas RUU Pengakuan Masyarakat Adat,  termasuk  revisi atas Perda Pekraman Bali,’’  tambah  Nyoman Dhamantra, mengingatkan.  SUT-MB