Keterangan foto:  Dosen Universitas Hindu I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar/MB

Denpasar, (Metrobali.com) –

Konflik Hindu Tradisi Bali dengan Hare Krishna memunculkan ide baru untuk mengkonsep format Hindu Nusantara. Berbagai diskusi telah dilakukan untuk merumuskan konsep Hindu Nusantara, sehingga bisa merangkul seluruh Tradisi Hindu. Secara faktual, Hindu Nusantara terdiri dari berbagai tradisi, sehingga memerlukan payung besar untuk mengayomi Tradisi tersebut. Bagaimanakah format Hindu Nusantara itu?

Persentuhan Hindu di Bali dengan India pada tahun 1920 – 1960, menimbulkan dialog tentang pembangunan identitas agama di Bali. Berbagai pendapat muncul untuk format agama di Bali, mulai dari Gama Tirta sampai Hindu Bali. Agama Hindu di Bali memang memiliki teks-teks lokal seperti Wrespati Tatwa, Ganapati Tatwa dan yang lainnya. Teks-teks ini juga memiliki kekhasan berpikir dibandingkan dengan teks-teks mayor di India. Karena itu, muncul gagasan untuk mengedepankan kekhasan tersebut. Tetapi gerakan Hindu universal juga memberikan warna pemikiran, terutama dalam usulan penghapusan adat-adat yang tak sesuai dengan perkembangan zaman.

Debat-debat ini berujung pada perumusan Hindu Dharma yang bisa memayungi semua tradisi dan perguruan. Konstruk Hindu Nusantara telah menjadi wacana sejak tahun 1960-an. Berbagai diskusi telah dilakukan ketika itu, sehingga terkristal pemikiran tentang payung keyakinan dan kerangka dasar Hindu Dharma. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk Panca Sradha dan Tiga Kerangka Dasar Hindu Dharma. Panca Sradha merupakan payung keyakinan umat Hindu. Tradisi mana pun yang setuju dengan payung Panca Sradha bisa masuk dalam payung Hindu Dharma.

Panca Sradha tersebut terdiri dari lima keyakinan yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Punarbhawa dan Moksha. Brahman, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan. Atman yaitu kepercayaan terhadap atman yang menjadi jiwa makhluk hidup. Karmaphala yaitu kepercayaan terhadap hukum perbuatan (karma). Punarbhawa yaitu kepercayaan terhadap reinkarnasi. Moksha yaitu kepercayaan terhadap tujuan tertinggi yaitu suka tanpa wali dukha atau kebahagian yang kekal.

Untuk menjalankan Sradha tersebut, dibangun tiga kerangka Hindu Dharma yaitu Tatwa, Susila, dan Upakara. Tatwa itu menyangkut teks atau tuntunan. Susila menyangkut tuntunan prilaku. Upakara yaitu menyangkut samskara,atau upacara penyucian. Tjok Rai Sidharta dan Ida Bagus Oka Puniatmaja menyajikan format Hindu Dharma tersebut dalam buku Upadesa, dalam dialog guru dengan murid. Apa yang diuraikan dalam Upadesa adalah hasil-hasil ketetapan Mahasabha Parisada Hindu Dharma pada rentang waktu tahun 1960 – 1980.

Format Panca Sradha ini adalah pengkristalan murni dari Pemikir-pemikir Hindu di Indonesia pada tahun 1960-1980. Parisada Hindu di India pun, sampai saat ini belum merumuskan format seperti itu, karena pluralisme pemikiran Hindu di India. Karena itu, perumusan format Panca Sradha ini adalah perumusan yang sangat baik pada zamannya, tetapi pengetahuan dan pengalaman umat Hindu memang terus berkembang, sehingga tentu sangat terbuka untuk dikritisi.

Format Hindu Dharma ini perlu terus diupdate sesuai perkembangan zaman. Perkembangan umat semakin maju, demikian juga pengetahuan agama Hindu. Akan tetapi, tampak jelas bahwa format Hindu Dharma dalam Panca Sradha tersebut, adalah format Hindu Dharma yang universal. Catatan-catatan bahwa Hindu Nusantara adalah Hindu Shiwa Sidhanta, sama sekali tidak ada dalam rapat-rapat tahun 1960-1980. Pemikir-pemikir Hindu pada masa itu, memiliki semangat untuk membangun Hindu universal, yang bisa mengayomi seluruh tradisi, sampradaya dan parampara.

Pada tahun 1990 – 2000-an, Pemikiran-pemikiran ini tertuang dalam ketetapan Mahasabha yang mengayomi semua tradisi, sampradaya, dan parampara yang berdasarkan Panca Sradha. Karena itu, parisada kemudian mengayomi tradisi, sampradaya dan parampara yang mengacu kepada Panca Sradha. Sejak tahun 2000-an, parisada mencoba mengadakan moderasi terhadap berbagai tradisi, sampradaya dan parampara agar rukun dalam rumah besar Hindu.

Pada tahun 2001, telah terbangun kesepakatan untuk hidup bersama secara damai. Parisada juga telah meminta sampradaya dan parampara untuk lebih cair dengan tradisi-tradisi lokal, sehingga penggunaan-penggunaan pakaian tradisional telah dilakukan kalangan sampradaya. Persembahan-persembahan sampradaya juga sudah mulai menggunakan bentuk-bentuk tradisi lokal, seperti Banten yang berisi bunga, buah, daun, air dan api. Karena itu, moderasi telah dilakukan parisada dalam kurun waktu tahun 2000-2020 ini. Akan tetapi itu belum maksimal, tentu terbuka untuk kritik sebab parisada adalah milik seluruh umat.

Pada tahun 2020 ini, terjadi konflik antara Hindu Tradisi Bali dengan Hare Krishna. Konflik ini adalah konflik sosial keagamaan, karena perbedaan tradisi tetapi beberapa kalangan menariknya pada ranah Teologi. Padahal secara teologi, Hare Krishna masuk ke dalam ranah Panca Sradha. Hare Krishna memang memiliki tafsir berbeda dengan banyak kalangan terpelajar di Bali, tentang tafsir Moksha.

Kalangan terpelajar di Bali menafsirkan Moksha sebagai menyatu dengan Tuhan, tetapi Hare Krishna menafsirkan Moksha sebagai hidup abadi bersama Tuhan. Kedua tafsir itu muncul karena landasan filsafat yang berbeda. Kalangan terdidik di Bali melandaskan pemikirannya kepada Advaita, sedangkan Hare Krishna melandaskan pemikirannya kepada Dvaita. Akan tetapi, kedua tafsir itu benar, karena Moksha secara universal dimaknai sebagai kebahagiaan abadi atau suka tanpa wali dukha, baik bersatu atau bersama Tuhan. Karena itu, Hare Krishna masuk dalam payung besar Hindu, dari kerangka format Hindu Dharma yang berlaku yaitu Panca Sradha.

Oleh karena itu, Konflik Hindu Tradisi Bali dengan Hare Krishna adalah konflik sosial keagamaan, yaitu persaingan antar anggota dan bentrok tradisi. Konflik sosial keagamaan, tentu harus didekati dengan teori-teori sosial keagamaan. Pada ranah teori, Konflik-konflik itu bisa diselesaikan dengan moderasi kehidupan intern umat beragama Hindu. Tetapi moderasi tentu harus didetailkan lagi dengan berbagai bentuk pendekatan sesuai situasi dan kondisi, sehingga terbangun Konstruk sosial keagamaan Hindu yang terarah dan terukur.
Konflik-konflik sosial keagamaan Hindu seperti ini, akan sangat terbuka di masa mendatang, terlepas dari pilihan parisada untuk memayungi Hare Krishna atau tidak. Karena itu, Konflik ini harus menjadi pelajaran bahwa pemimpin-pemimpin agama di masa mendatang, harus memiliki kecakapan dalam melakukan mediasi, sejalan dengan tugas parisada dalam hal ini, yaitu memberikan peringatan lisan, tertulis, dan mediasi.

Para mpu di masa lalu, adalah tokoh-tokoh yang memiliki kecakapan mediasi. Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi di Bali, melakukan mediasi setidaknya kepada penganut Shiwa, Buddha, Jaina, dan kepercayaan lokal. Mediasi ini menghasilkan format Hindu universal, yang kemudian mendapatkan warna Tantrayana dan Vajrayana. Format ini kemudian menjadi Kahyangan Tiga pada desa-desa pakraman di Bali. Kahyangan Tiga itu adalah format Teologi Hindu di Bali untuk merangkul paham Shiva, Sakta dan kepercayaan lokal di Bali.

Mediasi-mediasi terus dilakukan pada perkembangan berikutnya. Pada abad ke-15 Masehi, Mpu Nirartha melakukan mediasi dalam konsep sunya yang merangkul semua tradisi. Mediasi-mediasi berikutnya tentu harus dilakukan, setidaknya dalam konteks sosial keagamaan. Karena seluruh umat Hindu pasti menginginkan pembangunan Hindu yang besar dan jiwa. Konflik pasti selalu ada dalam sejarah perkembangan suatu agama, tetapi bagaimana memenejemen konflik, itu adalah seni yang harus selalu ada.

Penulis, Dosen Universitas Hindu I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar