Denpasar (Metrobali.com) –

Potensi dan indikasi pelanggaran penerapan PPDB 2021 lewat ‘Jalur Belakang’ tampaknya bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi, dengan berbekal kedekatan, rasa iba, solidaritas, rasa korsa dan persaudaraan maka dimungkinkan hal tersebut bisa saja terjadi.

Kegigihan para orang tua siswa menempuh jalur yang dianggap tidak elegan ini untuk memaksakan anaknya masuk sekolah negeri itu menjadi preseden buruk dunia pendidikan yang sejatinya mencari karakter-karakter unggul dan tangguh yang mau berkompetisi dimanapun dan walau dijalur edukasi manapun.

“Dengan memaksakan lewat jalur belakang tentunya malah menjadikan dunia pendidikan di Bali akan tetap ‘jalan ditempat’ alias tidak maju-maju, bukankah kita semua tulus menginginkan komitmen pelaksanaan PPDB yang jujur, transparan dan akuntabel kalau masih saja ada tercium aroma indikasi pelanggaran?” kata I Gede Ngurah Ambara, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Bali, Sabtu (17/7/2021).

Pihaknya masih menelusuri kebenaran serta memverifikasi potensi pelanggaran yang terjadi, namun sejatinya hal tersebut menjadi ‘alarm’ buat dunia pendidikan bahwasanya hal-hal yang tidak transparan pada ‘last minute’ potensi itu masih saja terjadi.

“Sebab hal ini juga merugikan pihak perguruan swasta yang telah bersiap menyambut para siswa namun akhirnya terkendala dengan pindahnya siswa akibat pemaksaan orang tuanya untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri,” ungkap Ambara.

Terkait masih ada disparitas biaya pendidikan di perguruan swasta dengan negeri, Pihaknya sudah melakukan serangkaian pemetaan terkait berapa jumlah peserta didik yang mendaftar di sekolah swasta dan solusi dan kendala apa yang dapat menurunkan komponen biaya tinggi dari operasional sebuah perguruan swasta.

Ternyata, renumerasi tunjangan tenaga pendidiknya yang belum memiliki sertifikasi masih sangat kurang, sehingga pihak sekolah swasta tak bisa memangkas honor guru yang tidak disubsidi pemerintah.

“Dan yang terjadi di perguruan swasta kini adalah masih banyaknya tenaga guru yang belum tersertifikasi sehingga sistem remunerasinya tidaklah sama dengan yang sudah tersertifikasi, Karena kalau tenaga pengajarnya sudah tersertifikasi, maka guru tersebut akan mendapat bantuan dari pemerintah,” ungkap Ambara.

Namun, untuk mendapatkan sertifikasi juga tidaklah mudah, harus melalui ujian, dan sesuai kuota disetiap daerah.

“Kalau di sekolah swasta guru-gurunya yang sudah tersertifikasi, maka akan lebih ringan biaya operasional sekolah swasta. Karena kesejahteraan guru dibantu oleh pemerintah, apalagi dengan situasi pandemi saat ini banyak orang tua siswa juga kesulitan untuk membayar SPP,” terangnya.

Seharusnya, pemerintah berusaha terus untuk meningkatkan jumlah ketersediaan sertifikasi para guru swasta, yang akhirnya membantu masyarakat untuk dapat bersekolah di perguruan swasta dengan biaya murah.

Jika mengacu pada UU Pendidikan Wajib Belajar 12 Tahun dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengamanatkan bahwa Kesejahteraan guru-guru swasta juga harus diperhatikan, karena saat ini banyak perguruan swasta kewalahan dalam memberikan tunjangan gaji maka untuk itu solusinya menambah kuota ujian sertifikasi dan prioritaskan para guru sekolah swasta. (hd)