Denpasar (Metrobali.com) –

 

Tampil kekar dengan balutan udeng yang selalu melekat erat di kepala serta sebilah tongkat wasiat di genggaman, awalnya penulis ragu untuk bertemu sebab ada segelintir kekhawatiran saat janji untuk berjumpa.

“Om Swastiastu, Selamat datang Saudaraku,” sapa Ketut Ismaya Putra, Ketua Yayasan Kesatrian Keris Bali (YKKB) sambil menawarkan secangkir teh dan pisang goreng di rumahnya, di suatu pagi di kawasan Perumahan Seroja, Denpasar, Selasa (7/12/2021).

Keramahan dan kehangatan serta tutur kata yang santun dalam menyambut kedatangan tamu serta hangatnya salah satu tokoh pemuda di Pulau Dewata ini secangkir teh tanpa gula yang disuguhkan membuat penulis yang tadinya ciut menjadi terkesima. Ternyata sosoknya santun penuh persahabatan terlihat dari pria yang lahir pada 24 Mei 1978 di Amplapura, Karangasem ini.

“YKKB dibentuk atas dasar kecintaan saya yang sangat tinggi terhadap bumi pertiwi khususnya Pulau Bali, makanya KERIS artinya Kesatuan Republik Indonesia, saya cinta toleransi dan keberagaman.

Masa lalu yang kelam malah membuat dirinya jadi total berserah diri dan selalu introspeksi dan bergantung pada kuasa Ida Sang Hyang Widi, disaat terpuruk dan berbagai serangan badai yang menimpa kehidupannya hingga dikerangkeng teralis besi penjara, disaat itu pulalah dirinya berkomunikasi dengan Tuhan.

“Kehadiran YKKB saat itupun bukan tanpa halang rintangan, banyak pihak mencibir bahkan memandang sebelah mata, dianggap hanya sebagai pencitraanlah, cuma ganti kulitlah bahkan ada yang keji melihat bahwa Ismaya sedang mengejar suatu posisilah,” ungkap Ismaya yang disapa akrab dengan sebutan Jro Bima ini.

Tak lelahnya Ismaya membawa YKKB dalam membantu sesama dengan berbagai aktivitas sosial dan kemanusiaan terpapar jelas dalam rekam jejak digitalnya di akun YouTube @ @Ismaya Jaya Yayasan Kesatria Keris Bali.

Soal toleransi juga tergambar jelas bagaimana seorang Ismaya melakukan komunikasi intensif dengan seluruh agama dan keyakinan yang ada di Bali. “Sejatinya bibit radikalisme ada pada seluruh agama yang ada, Islam, Kristen, Budha, Khonghucu bahkan di agama saya sendiri, tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan Arif dan bijaksana,” tutur Ismaya.

Bahkan, Dirinya pula satu-satunya orang di Bali yang menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Melayu, khususnya Muslim di Riau atas peristiwa yang dialami Ustad Abdul Somad di Bali beberapa waktu lalu.

Rumah kediamannyapun jadi saksi bisu bagaimana Ismaya kerap menjadi tumpahan curhat dari masyarakat berbagai etnis ketika terjadi suatu permasalahan. Dari mulai masalah hutang piutang, tertipu, Ibu-ibu curhat bahkan hanya sekedar menemani tamu yang cuma memamerkan barang pusakanya atau para orang tua yang kesulitan biaya pendidikan anaknya. Terlihat bagaimana piawainya dirinya dalam mengelola suatu manajemen konflik

Tak dipungkiri, dukungan dan simpati dari berbagai pihak pun mengalir, tak heran anggota pengikut YKBB juga kian bertambah dari ke hari, bahkan diprediksi jumlahnya hampir kurang lebih 30.000 dari seluruh Indonesia.

“Kami berusaha keras bertransformasi dari kehidupan gelap gulita masa lalu hingga menjadi orang yang dapat berguna untuk sesama dan selalu ‘Ngayah’ berbakti untuk tanah Bali menjadi visi dan misi kami,” terang Ismaya.

Maka dari itu saya selalu mengajak dan menanamkan komitmen ini pada seluruh anggota, “Bahkan tak ada tempat dan toleransi bagi siapapun anggota kami yang terlibat keributan fisik, apalagi jika ketahuan memakai narkoba, langsung pecat!” tambahnya.

Tampaknya Ismaya ingin meletakkan paradigma baru YKKB yang sehat, sportif dan menebar kebaikan. Penulis sempat menyambangi juga sebuah posko komando didekat kediamannya, terlihat berbagai anggota pengikutnya sedang sibuk mengemas berbagai paket bantuan yang akan ditujukan buat korban musibah banjir di Pekutatan, Jembrana bahkan yang lainnya sibuk melakukan pendataan untuk aksi kemanusiaan donor darah yang kerap selalu dilakukan.

Harus diakui, sepak terjangnya dalam ‘Ngayah’ dan aksi sosial kemanusiaannya memang belumlah seberapa, tapi Ismaya memang menjadi sebuah fenomena, seorang tokoh yang selalu menjaga adat, budaya dan Agama di bumi nusantara khususnya Bali, dirinya tidak pernah memandang suku ras dan agama. Tak peduli apapun opini orang terhadap dirinya, Tapi baginya ‘The show must go on’. (hd)