“Fenomena Bahlil”, Momentum Bagi UI untuk Menjaga Integritas Keilmuannya
Denpasar, (Metrobali.com)
Menjaga marwah civitas akademika UI, semestinya kelulusan Bahlil dibatalkan, dan pemberian gelar doktor ditarik.
Hal itu dikatakan, Gde Sudibya, intelektual, pengamat kecenderungan masa depan, alumni FEUI, Kamis 14 Nopember 2024.
Dikatakan, menyimak, proses riset yang dilakukannya, dugaan penunjukan promotor dengan indikasi konflik kepentingan, yang menafikan proses akademik sesuai etika keilmuan, semestinya kelulusan Bahlil dibatalkan, dan pemberian gelar doktor ditarik.
“Semoga UI kembali menjadi suri teladan, dalam penegakan nilai, integritas keilmuan, untuk menjaga marwah bangsa ke depan,” katanya.
Menurutnya, tanpa integritas keilmuan, menjadi mustahil dan tidak mungkin menghasilkan kualitas SDM mumpuni, dalam menjawab tantangan bangsa ke depan.
Gunnar Myrdal ekonom Austria pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1974, dalam bukunya yang melegenda: “Asian Drama”, “drama” kemiskinan di Asia. membuat dua kategori negara: negara lunak (soft state) dan negara kuat (strong state).
Menurutnya, negara lunak bercirikan: disiplin rendah, penegakan hukum “memble”, kepemimpinan lemah (minim visi, lemah dalam eksekusi, lingkungan yang korup) Jujur harus diakui, dewasa ini Indonesia termasuk kategori “soft state”.
Dikatakan, fenomena, sebut saja “Fenomena Bahlil”, adalah puncak gunung es dari krisis: keilmuan, integritas di dunia perguruan tinggi kita Dalam “dasa muka” bentuknya: plagiarisme, pelanggaran etika serius dalam proses penetapan guru besar, turunan prilaku yang nyaris menjadi “budaya” akibat komersialisasi pendidikan yang dashyat tanpa kendali.
“Padahal sejarah selalu membuktikan tanpa kualitas manusia bermutu, dan sistem sosial yang menghargai tinggi kompetensi dan prestasi -merit system-, kesejahteraan negara bangsa, peradaban dan kebudayaannya yang terus bertumbuh – Civilisation and Culutre sustainable growth- adalah sebuah ilusi,” kata I Gde Sudibya.
Contohnya, sejarah bangsa Jerman, pasca “puing” kehancuran akibat kalah Perang Dunia Kedua,segera membenahi sistem pendidikannya termasuk universitas. Kurang dari dua dasa warsa pasca perang, bersaing secara ekonomi dan bahkan mengungguli AS dan negara-negara sekutunya.
Pengalaman Jepang, tidak kalah spektakuler. Setelah bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, tanggal 14 dan 15 Agustus 1945, 16 Agustus 1945 Jepang melalui pernyataan Kaisar menyerah pada Sekutu.
Sejarah Jepang mencatat, bangsa ini tidak terlalu lama “menangisi” kekalahan Perang. Dalam hitungan hari Kaisar mengambil langkah yang menjadi catatan emas sejarah bangsa Jepang. Tanggal 21 September 1945, satu bulan lebih sedikit, mengumpulkan kabinet pemerintahan Jepang, untuk segera merumuskan standar produk dan produksi komoditas Jepang. Standar produk ini menjadi basis dalam membangun kembali Jepang dari puing kekalahan akibat perang.
Membangun kembali Jepang melalui pembenahan sistem pendidikan yang serius “Gelising cerita”, 20 tahun – 25 tahun, mulai dasa warsa 1970’an, AS, Eropa, Asia dan belahan bumi lainnya, dibanjiri produk Jepang dari mainan anak-anak, sepeda, keperluan RT, mobil dengan merk-merk ternama: Fuji, Sanyo,Sharp, Daihatsu, Toyota dan ribuan merk dagang lainnya. Pendidikan, faktor kunci “strategc core” kemajuan sebuah bangsa.
Bagi Bali, dimana industri pariwisata telah menjadi primadona,”engine of growth” dari perekonomian Bali dengan plus minusnya, industri yang bertumbuh sejalan dengan dinamika global, menuntut SDM Bali yang lebih unggul, dalam kapasitas: intelektual, emosional dan kecerdasan dalam merespons perubahan -capasity to response changes-.
Tantangan bagi dunia universitas di Bali, untuk merespons dinamika perubahan ini. Menjaga “Taksu” universitas, melalui proses keilmuan yang transparan, menghargai tinggi kaidah akademik, tidak hidup di menara Gading, tidak menyemai benih baru feodalisme yang anti intelektualitas.(Sutiawan).