Khatibul Umam Wiranu

Jakarta (Metrobali.com)-

Fraksi Partai Demokrat (FPD) menyikapi substansi RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedang dibahas DPR RI.

“Dalam menyikapi pembahasan RUU Pilkada, kami dari Fraksi Partai Demokrat memiliki beberapa pandangan,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu dalam pernyataan pers di Jakarta, Jumat (5/9).

Pertama, dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 disebutkan “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.

Di pasal ini tidak ada kalimat yang menyatakan bahwa pilkada harus dilaksanakan secara langsung, melainkan menyatakan dipilih secara demokratis. “Dengan begitu, baik langsung atau tidak langsung merupakan persoalan teknis yang sama sekali tidak mengurangi makna dari demokratis,” katanya.

Dalam praktik penyelenggaraan pilkada langsung selama ini, hampir tidak ada pilkada yang tidak melahirkan masalah, mulai dari ketegangan sosial, kerusuhan, sampai berujung pada meja pengadilan MK. Hampir semua tahapan melahirkan ketegangan dan kerawanan baik sosial maupun politik.

“Belum lagi praktik ‘money politic’ yang mereduksi nilai-nilai moral di tengah masyarakat. Dengan begitu, pilkada langsung lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya,” kata Khatibul.

Ketiga, dari segi biaya, begitu besar beban yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan pilkada, baik untuk penyelenggara KPU, Bawaslu atau Panwaslu, biaya pengamanan, maupun biaya yang dikeluarkan para calon.

Keempat, dalam perjalanan calon terpilih dalam pilkada langsung, sering kali ketika menjabat banyak terjadi ketidakharmonisan antara gubernur dengan wakil gubernur, bupati dengan wakil bupati dan wali kota dengan wakil wali kota. Kedua-duanya sama-sama merasa dipilih secara langsung, di saat yang sama afiliasi partai berbeda.

Kelima, Partai Demokrat mendukung pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD sebagai representasi dari suara masyarakat. DPRD sebagai wakil yang dipilih secara langsung bisa menjadi penyalur aspirasi masyarakat tentang siapa pemimpin yang diharapkan.

Keenam, wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota tidak dipilih dalam satu paket dengan gubernur, bupati dan wali kota untuk menghindari ketidakharmonisan dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketidakharmonisan dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya akan menyengsarakan masyarakat.

“Wewenang gubernur, bupati dan wali kota terpilih untuk menentukan wakilnya, akan menjadi pondasi bagi kepemimpinan kuat dan stabil,” kata Khatibul.

Ketujuh, dalam hal penentuan wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota, kepala daerah terpilih mengajukan tiga nama sebagai calon wakil yang dipilih dari PNS/Non-PNS, kemudian diajukan kepada presiden melalui mendagri untuk ditetapkan salah satunya. AN-MB