Menpar Bunyikan Okokan Saat Pembukaan PKB 2015 di Art Centre

SEJARAH panjang pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang telah dikonstruksi oleh mendiang Ida Bagus Mantra seakan kehilangan nilai budaya serta makna keteladanan dalam menjaga keagungan dari kemuliaan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali menuju hakikat kehidupan bagi kemaslahatan publik, kesejahteraan berkeadilan, berbudaya dan bermartabat.

Faktanya, masih terjadi pembiaran terhadap perilaku destruktif, yang dilakukan warga masyarakat desa pakraman tingkat banjar khususnya sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar secara masif, terstruktur dan sistemik dalam pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini. Bahkan, mereka terkesan akan hidup selamanya, sehingga merasa paling berhak untuk menguasai segalanya dalam kehidupan ini.

Perilaku destruktif itu, di antaranya aksi premanisme (pemaksaan kehendak) dan praktik pungutan liar (pungli) berbasis ego sektoral berlabel otonomi kebablasan yang mengokupasi infrastruktur publik untuk memenuhi hasrat keinginan pribadi maupun kelompok maupun golongan tertentu, seperti ruas jalan raya, trotoar, dan kampus ISI Denpasar, dan fasilitas publik lainnya untuk parkir komersial berkedok desa Adat.

Padahal, sejatinya hakikat kehidupan ini bukan sekadar ritus perjalanan untuk menguasai segalanya dengan berbagai cara dan bahkan mengabaikan aturan dan ketentuan hukum berasaskan demokrasi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat hanya demi kepentingan desakan ekonomi semata tanpa kesadaran hati nurani yang berbudaya dan bermartabat.

Mestinya, kehidupan ini dimaknai secara bijaksana dengan perilaku dan tindakan yang konstruktif, perbuatan maupun pemikiran bermakna bagi kemaslahatan bersama (publik), karena esok senyatanya semua akan kembali pada awal mulanya berupa ketiadaan (kematian).

Implikasinya, inovasi cerdas yang dikonstruksi para seniman dalam beragam pertunjukan seni budaya selama pelaksanaan PKB berlangsung, sebagai upaya pembaharuan bagi kehidupan, penghidupan, dan keunggulan untuk penguatan kebudayaan menuju peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan seakan dianggap hanya sekadar wacana serta minim keteladanan.

Dalam konteks ini, para elite politik penguasa pemangku kebijakan pun terkesan dicap publik telah mengalami krisis moralitas, tata nilai, etika, dan minus karakter keteladanan dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan keagungan dari nilai adilihung kemuliaan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB berlangsung. Sehingga, tanpa sadar telah terjadi upaya marginalisasi seni budaya Bali oleh warga masyarakatnya sendiri.

Akibatnya, gagasan dan ide-ide cemerlang dalam mengonstruksi kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB ke-37, yang berlangsung sejak 13 Juni hingga 11 Juli 2015 dengan tema Jagaddhita sebagai upaya memperkokoh kesejahteraan masyarakat secara perlahan mengalami distorsi filosofi, tata nilai, etika, dan moralitas, karena gaya hidup fragmatisme yang materialistik.

Sesungguhnya, jika saja perilaku destruktif, yang dilakukan warga masyarakat desa pakraman tingkat banjar khususnya sekitar UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar secara masif, terstruktur dan sistemik dapat dituntaskan sepenuhnya oleh tim keamanan dalam pelaksanaan PKB tahun ini, maka upaya inovasi cerdas dalam pelaksanaan PKB tahun ini dapat membangun sinergi harmoni, kedamaian, dan diplomasi kebudayaan global berbasis lokal, nasional, dan internasional.

Seperti diungkapkan oleh Budayawan, I Wayan Geriya, dalam serasehan PKB ke-37 di gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Sabtu (4/7), yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan kekuatan bagi kehidupan, penghidupan dan keunggulan menuju kebahagiaan. Ini berarti upaya pembaharuan dalam pelaksanaan PKB tahun ini memerlukan basis nilai kecerdasan dan kejujuran menuju keunggulan.

Menurutnya, inovasi tanpa kecerdasan hanya menghasilkan pencitraan dan kepalsuan. Sedangkan, inovasi tanpa kejujuran hanya mampu mencetak plagiasi atay copy paste. Akibatnya, eksistensi nilai budaya dari akulturasi seni budaya lokal, nasional, internasional dalam pelaksanaan PKB tahun ini, sebagai diplomasi kebudayaan untuk mamanusiakan manusia akan semakin stagnan dan kecenderungan dapat mengalami degradasi moral, disharmoni sampai dehumanisasi.

Senada dengan itu, Kurator Seni Budaya, Prof. Dr. I Wayan Dibia, mengakui beragam pertunjukan seni budaya yang disajikan selama pelaksanaan PKB berlangsung memang diharapkan mampu mendorong kemajuan serta kedamaian hidup, dan menawarkan nilai-nilai kebaruan bagi perubahan sikap dan perilaku warga masyarakat dalam memenuhi hasrat keinginan dari kehidupan ekonominya, supaya lebih baik dan menyejahterakan secara berkeadilan, berbudaya dan bermartabat.

Sayangnya, esensi kesenian untuk membangun kedamaian dengan mengesampingkan ego pribadi  dan lebih mengedepankan rasa kebersamaan belum sepenuhnya dapat dimaknai secara konstruktif oleh warga masyarakat khususnya desa pakraman tingkat banjar di kawasan pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini.

Makanya, upaya pembaharuan baik internal maupun eksternal yang telah dicanangkan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika selama pelaksanaan PKB berlangsung dicap publik masih sekadar pencitraan dan masih bersifat setengah hati. Karena, senyatanya fasilitas publik belum sepenuhnya terbebas dari aksi premanisme (pemaksaan kehendak) dan praktik pungutan liar (pungli) berbasis ego sektoral berlabel otonomi kebablasan.

Kemudian, Dosen Sastra Unud Denpasar, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, yang juga tim penyusun konsep tema payung dan tema pokok PKB menegaskan bahwa semangat dan makna pendakian warga masyarakat dalam kehidupan sosial budaya selama pelaksanaan PKB berlangsung masih bersifat semu.

Karena memang dianggap belum mampu memahami maupun mengaktivasi filsafat dan nilai etika yang telah dikonstruksi dalam ragam pertunjukan seni budaya selama pelaksanaan PKB berlangsung sebagai kekuatan pencerdasan dan pencerahan menuju perubahan kehidupan yang menyejahterakan secara berkeadilan, berbudaya dan bermartabat.

Ini berarti pelaksanaan PKB selama ini masih dicap publik hanya sebagai wahana hiburan semata, dan bukan untuk edukasi moralitas pencetak karakter generasi emas bangsa. Mestinya, citra PKB yang bernuansa lokal tapi terbuka secara nasional dan internasional mampu memperkuat jati diri bangsa di tengah era globalisasi dalam perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN atau disingkat MEA.

Upaya memajukan nilai ideal dalam kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab di tengah kehidupan warga masyarakat melalui pelaksanaan PKB bukan berarti tidak bisa diterapkan sama sekali. Karena, kebudayaan dalam era demokrasi kekinian dengan jargon revolusi mental sejatinya dapat menciptakan nilai hidup bermartabat serta kemajuan keadaban atau peradaban bagi individu ataupun komunitas kalau pemimpin pemerintahan masih memiliki ketegasan dan keteladanan.

Ini berarti  para elite politik penguasa pemangku kebijakan dituntut harus punya nyali besar, komitmen tegas dan keberanian menegakkan supremansi hukum dengan melakukan perubahan mendasar terhadap keluhuran politik kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB berlangsung. Intinya, seken saja bani ; betul betul serius dan sungguh sungguh senyatanya berani untuk melakukan perubahan.

Sementara itu, kendala teknis yang acapkali masih mengganggu kenyamanan baik seniman maupun pencinta seni budaya (penonton) selama pelaksanaan PKB berlangsung masih belum dapat dituntaskan. Di antaranya terkait masalah sound system (tata suara) dan ligthing (tata cahaya).

Selain itu, bahkan layanan fasilitas publik seperti toilet bagi pengunjung ataupun seniman masih belum tersentuh pembenahan secara maksimal, masih seringkali rusak serta berbau (pesing), hingga terkesan jorok dan tidak terawat. Kemudian, ruang rias seniman pun masih kurang mendapatkan sentuhan ataupun perhatian instansi terkait, sehingga gagal memuliakan maupun memanusiakan seniman selama pelaksanaan PKB berlangsung.

Di samping itu, pelayanan terkait penyediaan areal/tempat parkir yang lebih representatif bagi khalayak publik, pencinta seni budaya juga diabaikan. Bahkan dalam PKB tahun ini pelayanan shuttle bus gratis ditiadakan.

Mestinya, inovasi cerdas dibarengi langkah konkret melalui tindakan tegas melakukan revolusi mental kepanitiaan selama pelaksanaan PKB berlangsung. Sehingga, imajinasi, pemikiran kritis, bernas, dan semangat daya cipta kreatif inovatif dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, sebagai upaya memperkuat identitas bangsa di masa datang. WB-MB